Angkatan ’80-an (1): Depolitisasi Sastra
26 September 2009
Sastra 80-an berada
di tengah lingkungan yang masyarakatnya mengalami depolitisasi yang nyaris
total. Aktivitas-aktivitas politik mahasiswa ditertibkan dan mahasiswa
sepenuhnya dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari segala macam aktivitas
politik. Mimbar bebas tidak lagi dibolehan dan bahkan indoktrinasi berupa
penataran P4 mulai menjadi bagian integral dari kehidupan kampus.
Politik stabilitas, security approach,
normalisasi kehidupan kampus, dan asas tunggal merupakan lingkungan tempat para
sastrawan era 80-an hidup. Majalah sastra hanya ada Horison dan Basis.
TIM sebagai pusat kesenian tidak seleluasa dulu, baik dalam masalah dana maupun
kegiatan (Sarjono, ed., 2001: 180-181).
Karya sastra yang
lahir pada tahun 80-an dipengaruhi proses depolitisasi tersebut. Oleh karena
itu, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik
serta tidak menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat pada masa
itu.
Globalisasi dengan
ekonomi sebagai panglima menempatkan pusat dunia tidak lagi pada lembar-lembar
diskursif sastrawi. Jargon-jargon politik yang hiruk-pikuk dan menakutkan telah
berlalu. Mereka digantikan oleh jargon-jargon modisme yang meriah,
kerlap-kerlip, dan tidak terasa menakutkan. Ditambah lagi, terdapat ancaman
pembredelan-pembredelan terhadap karya sastra dan faktor-faktor keamanan
lainnya.
Karya sastra yang
lahir pada tahun 80-an dipengaruhi proses depolitisasi yang melanda masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan
realitas sosial politik serta tidak menunjukkan kegelisahan dan kesakitan
kolektif masyarakat pada masa itu.
Prosa Indonesia pada
masa ini didominasi oleh karya-karya yang bernuansa lokal sebagai pendobrakan
karya-karya sebelumnya yang “kota sentris”. Perpuisian Indonesia didominasi
oleh sajak-sajak ketuhanan, kecenderungan sufistik, dan sajak-sajak gelap.
Drama Indonesia masih cenderung konvensional meskipun terdapat sedikit inovasi.
Sayangnya, ramainya karya-karya terjemahan di Indonesia mengakibatkan para
sastrawan Indonesia mengalami penurunan kuantitas dalam memproduksi karya
sastra.
Wacana-wacana sastra
yang sempat muncul ke permukaan adalah keterpencilan sastra, sastra
kontekstual, sastra lokal, sastra kota, sastra intelektual, sastra yang
merakyat (sastra dangdut), sastra tergugat, sastra sufistik, sastra gelap,
sastra koran, sastra kiri, dan sastra pop remaja.
Karya sastra di Indonesia pada
kurun waktu setelah tahun 1980,
ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang
menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T.
Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah
dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan
yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca
Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad
Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini
Cahya Khairani, dan Tajuddin
Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati
Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an
dengan beberapa karyanya antara lain: Pada
Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati
Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang
ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama
biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T
adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang
menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka
adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih
dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan
untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an
biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh
dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu
lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori olehHilman
Hariwijaya dengan
serial Lupusnya. Justru dari kemasan
yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik
membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama
terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Angkatan ’80-an (10): Sastra Koran, Roman Percintaan, dan Sastra Pop Remaja
3 Oktober 2009
oleh nyanyianbahasa
oleh Evlin, Melody
Violine, dan Saktiana Dwi Hastuti
Sastra Koran
Pada tahun 1983, hanya ada satu
majalah sastra, yaitu Horison dan majalah kebudayaan, yaitu Basis.
Begitu sedikitnya wadah apresiasi itulah yang membuat peralihan kehidupan
sastra dari majalah ke koran. Hampir tidak ada koran yang tidak memberi tempat
untuk karya sastra. Sastra koran berkembang pesat karena merupakan sarana
komunikasi atau sarana publikasi yang efektif. Pengarang yang karyanya ingin
cepat dibaca dan dikenal masyarakat, memasukkan karyanya ke koran-koran.
Dari segi kuantitas, sastra koran
membawa dampak yang positif karena setiap hari bisa dinikmati puisi, cerpen,
atau esai yang benar-benar baru dicipta dan dipublikasikan. Akibatnya, sastra
Indonesia tampak sangat ramai dan beragam. Namun, dari segi kualitas, sastra
koran belum membawa dampak yang positif. Puisi-puisi atau cerpen-cerpen yang
dimuat lebih banyak yang kurang bermutu. Hal ini disebabkan tidak semua koran
menyediakan tenaga khusus yang ahli di bidang sastra (dan kebudayaan). Akan
tetapi, terlepas dari semua itu, sebenarnya sastra koran juga bisa menunjang
studi tentang sastra Indonesia.
Ada pendapat bahwa karya sastra
pada masa ini hanya berarti sebagai barang dagangan (komoditi). Penikmat sastra
yang telah tiada karena sastra-sastra yang akan lahir ditentukan oleh staf
redaksi koran atau majalah, apakah akan diterima atau ditolak. Karya sastra apa
pun yang dimuat di majalah Horison langsung diapresiasi sebagai karya
sastra.
Roman Percintaan dan
Sastra Pop Remaja
Karya sastra Indonesia setelah
tahun 1980 juga masih ditandai dengan maraknya roman percintaan karya pengarang
wanita. Dua sastrawan wanita yang menonjol adalah Mira W. dan Marga T.
Pada tahun 1984, Jacob Sumardjo
mengungkapkan pendapatnya bahwa sastra Indonesia masa itu adalah sastra kota
dan intelek karena hanya dibaca oleh orang kota dan kalangan terpelajar. Oleh
karena itu, sudah waktunya dibukakan kemungkinan sastra lain seperti sastra
populer, sastra daerah, dan sebagainya[1].
Tidak mengherankan jika sastra pop
remaja mulai mewabah pada akhir tahun 80-an. Akan tetapi, kehadiran sastra pop
remaja ini menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran seperti remaja yang dapat
terjerumus ke dalam sifat sastra pop yang dianggap hanya “menghibur” (dulce).
Sastra pop remaja dicap hanya menunjukkan keglamoran hidup tanpa pergulatan
pemikiran dan nilai-nilai kehidupan yang dapat dipelajari (utile),
juga materialis karena banyak di antaranya yang mengincar untuk diangkat ke
layar lebar atau televisi.
Orang-orang yang membaca sastra
pop remaja ini dicap sebagai orang berselera rendah. Tingkat pendidikan sastra
di Indonesia yang memprihatinkan dikecam sebagai penyebab makin banyaknya
masyarakat “berselera rendah” ini.
[1] Heryanto, Ariel, ed.
Perdebatan Sastra Kontekstual, (Rajawali, 1985), hal. 161.
Sharing Information with Friends,,,,,,
:) Dewey Mahya’s Blog :)
Dasawarsa 80-an
Dasawarsa 80-an
Karya sastra di Indonesia pada
kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan,
dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Majalah
Horison tidak ada lagi, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar
luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat
mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira
Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi.
Karya Sastra Angkatan Dasawarsa
80-an
Antara lain adalah:
* Badai Pasti Berlalu - Cintaku di
Kampus Biru - Sajak Sikat Gigi - Arjuna Mencari Cinta - Manusia Kamar - Karmila
Mira W dan Marga T adalah dua
sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi
ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah
wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih
dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk
menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya
selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan,
pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah
disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu
lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya.
Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang
kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih “berat”.
Budaya barat dan
konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus mempengaruhi sastra
Indonesia sampai tahun 2000.
Angkatan ’80-an (1): Depolitisasi Sastra
26 September 2009
oleh nyanyianbahasa
oleh Evlin, Melody
Violine, dan Saktiana Dwi Hastuti
Sastra 80-an berada di tengah
lingkungan yang masyarakatnya mengalami depolitisasi yang nyaris total.
Aktivitas-aktivitas politik mahasiswa ditertibkan dan mahasiswa sepenuhnya
dijadikan organ kampus yang dilepaskan dari segala macam aktivitas politik.
Mimbar bebas tidak lagi dibolehan dan bahkan indoktrinasi berupa penataran P4
mulai menjadi bagian integral dari kehidupan kampus.
Politik stabilitas, security
approach, normalisasi kehidupan kampus, dan asas tunggal merupakan
lingkungan tempat para sastrawan era 80-an hidup. Majalah sastra hanya ada Horison
dan Basis. TIM sebagai pusat kesenian tidak seleluasa dulu, baik
dalam masalah dana maupun kegiatan (Sarjono, ed., 2001: 180-181).
Karya sastra yang lahir pada tahun
80-an dipengaruhi proses depolitisasi tersebut. Oleh karena itu, sastra yang
muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas sosial politik serta tidak menunjukkan
kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat pada masa itu.
Globalisasi dengan ekonomi sebagai
panglima menempatkan pusat dunia tidak lagi pada lembar-lembar diskursif
sastrawi. Jargon-jargon politik yang hiruk-pikuk dan menakutkan telah berlalu.
Mereka digantikan oleh jargon-jargon modisme yang meriah, kerlap-kerlip, dan
tidak terasa menakutkan. Ditambah lagi, terdapat ancaman
pembredelan-pembredelan terhadap karya sastra dan faktor-faktor keamanan
lainnya.
Karya sastra yang lahir pada tahun
80-an dipengaruhi proses depolitisasi yang melanda masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu, sastra yang muncul pun jadi tidak sesuai dengan realitas sosial
politik serta tidak menunjukkan kegelisahan dan kesakitan kolektif masyarakat
pada masa itu.
Prosa Indonesia pada masa ini
didominasi oleh karya-karya yang bernuansa lokal sebagai pendobrakan
karya-karya sebelumnya yang “kota sentris”. Perpuisian Indonesia didominasi
oleh sajak-sajak ketuhanan, kecenderungan sufistik, dan sajak-sajak gelap.
Drama Indonesia masih cenderung konvensional meskipun terdapat sedikit inovasi.
Sayangnya, ramainya karya-karya terjemahan di Indonesia mengakibatkan para
sastrawan Indonesia mengalami penurunan kuantitas dalam memproduksi karya
sastra.
Wacana-wacana sastra yang sempat
muncul ke permukaan adalah keterpencilan sastra, sastra kontekstual, sastra
lokal, sastra kota, sastra intelektual, sastra yang merakyat (sastra dangdut),
sastra tergugat, sastra sufistik, sastra gelap, sastra koran, sastra kiri, dan
sastra pop remaja.
TULISAN Indra Tjahjadi (Suara
Karya, 18/11. 2006), dengan konteks perpuisian dekade 80-an mengapungkan tiga
poin. Oleh Indra Tjahjadi diungkapkan adanya dua genre perpuisian yang dominan
di dekade 1980-an. Pertama, corak puisi gelap yang dominan. Dua, corak puisi
sufistik yang signifikan menggejala. Dan ketiga: posisi kepenyairan Aming
Aminoedhin dalam peta perpuisian saat itu.
Tepatnya pengakuan pada karier
kepenyairan yang dirintis ketika masih kuliah di UNS Solo. Ketika membentuk
semacam gang sastra, dengan almarhum Kriapur yang menonjol sebagai penyair dan
Wieranta yang menonjol sebagai cerpenis. Lalu Aming Aminoedhin menonjol sebagai
apa? Bisa jadi sebagai aktor dan pembaca pu-isi - menghadiri Forum Penyair
Indonesia ‘83 lebih sebagai pembaca puisi, dan diberi kesempatan tampil oleh
Kriapur yang terundang, dan menikmatinya.
Tapi Aming menulis puisi dan
memang mampu menunjukkan produktivitasnya sebagai penyair, yang mencapai
puncaknya saat pindah ke Surabaya, sebagai PNS Diknas - dengan posisi sebagai
motor majalah internal Diknas Jatim, sebelum pindah ke Balai Bahasa Surabaya.
Bagi saya di phase ini pun Aming lebih dominan sebagai organisatoris yang
memiliki kesabaran administratur kreativitas puisi.
Ia mengelola penerbitan sastra
dalam bentuk media buletin stensilan dan photo copy. Tepat ketika di Indonesia
menggejala kebangkitan sastra lokal via HP3N, yang ekspresi unggulnya meledak
jadi maklumat forum Revitalisasi Sastra Ping-giran. Ia menerbitkan buku puisi
dalam model serupa, dan melobi tempat dan urun biaya untuk kegiatan baca puisi.
Di sana kelebihan Aming yang tidak tergantikan.
SAYA agak terganggu oleh tulisan
Indra Tjahjadi, ketika membuat peta perpuisian dekade 80-an, yang terdiri dari
puisi gelap dan puisi sufistik dalam satu tarikan nafas. Saya pikir terminologi
puisi gelap tidak merujuk pada ketiadaan tema atau pesan puisi, juga bukan
ketiadaan makna dan keengganan untuk berkomunikasi dengan simbol canggih yang
rasional, sehingga pesan bisa dilacak. Bukan itu.
Puisi gelap tak berhubungan dengan
pesan yang gelap tapi lebih merujuk kepada pola ekspresi simbolik yang
terlampau subyektifstik, sehingga menyulitkan pemaknaan simbol oleh para
apresiator - dengan referensi yang tersedia dalam khazanah sastra-budaya yang
ada. Tidak heran kalau khazanah puisi Simbolik dan Surealistik Prancis - dengan
Rimbaud, Baudelire dll - jadi rujukan dan dianggap jalan masuk. Kriapur saya
pikir memetik khanazah puisi Simbolik dan Surealistik Prancis. Diksi-diksi
puisinya menonjol dengan estetika macam itu.
Komunikasinya dengan Afrizal Malna
juga karena referensi Simbolik dan Surealistik Prancis, terutama ketika Afrizal
Malna sendiri agak bosan dengan kecenderungan puisi liris. Estetika yang
memainkan emosi dan bahasa hingga kata tidak menghadirkan realita dan fakta
tapi aura mistik - lewat GM, Sapardi Joko Damono, memuncak pada puisi mantra
SCB. Ia ingin mengkaitkan diksi puisi dengan fakta dan realita, yang hadir apa
adanya tapi meninggalkan kesan suralistik dan bukan suasana mistik. Ia
menghadirkan teks prosaik, tumpukan benda-benda dan fakta yang tidak berkaitan
tapi meninggalkan kesan aneh pada pembaca puisinya.
Saya pikir, bersama puisi
Afrizalian itu hadir juga seorang F. Rahardi, yang menulis puisi dengan
semangat mengganyang lirisisme dengan mempuisikan hal-hal yang kocak, realitas
keseharian yang non-puisi, dan dengan diksi yang sarkas serta parodik kartunik.
Dalam beberapa hal F Rahardi berhasil menuliskan genre puisinya, meski tak jadi
rambu yang diikuti orang - ia sendiri berakhir di jalan buntu.
Penolakan pada tradisi liris
menghasilkan puisi prosaik benda-benda Afrizalian, sajak sarkas parodik ala F
Rahardi, dan sejumlah sajak yang terlampau rimbun dengan simbol. Kerimbunan
yang dibaca sebagai upaya si penyair buat menterjemah-kan yang subyektif dengan
yang obyektif. Di mana yang menyimbolkan dipilih dari khazanah (teks) obyektif
agar yang disimbolkan menyapa. Celakanya, dandyisme ini masih berkutet dalam
tradisi subyektivisme liris, karenanya jalur komunikasi ke yang disimbolkan via
representasi yang menyimbolkan buntung. Terkatung-katung.
LANTAS di mana posisi puisi
sufistik? Saya pikir puisi sufistik ada di antara tradisi liris yang
mengesankan sesuatu dalam sugesti suasana dan puisi kritis yang dengan lantang
menandai kondisi sosial-politik yang asimetris. Rendra menandai itu dengan
menulis teks kritis tentang situasi saat itu dalam puisi dan drama, tetapi
membentur dinding dan dibungkam. Meski begitu ada ketidakpuasan dan kerinduan
untuk mengkapkannya. Ide Sastra Kontekstual Ariel Heryanto dipaksa Arief
Budiman buat merujuk situasi sosial-politik asimetris - padahal awalnya tidak
begitu.
Kerinduan pada sesuatu yang
faktual dan universal tapi tak mengabur jadi lirisme dan tidak boleh jadi
kritis karena takut cap kiri, melahirkan pemuasan kebebasan mengungkapkan yang
faktual dan besar dalam ujud Tuhan. Dan berbeda dengan tradisi Iqbal yang
rasional, pendekatan sufistik menyebabkan yang riil faktual itu, Causa Prima,
hadir dalam lirisme dan menyapa sebagai ungkapan lirisme yang prismatik.
Semacam dandyisme yang menghasilkan puisi gelap dengan tema mistis-religius.
Kenapa?
Ada kekikukan karena tak ada
pengalaman religius dari si penyair, semacam pencapaian tahap dialog dari
pertemuan antar habib-chalik. Yang ada cuma referensi bacaan sastra dan sufi
sufistik yang diadopsi. Hal itu membuat puisi sufistik jatuh pada tradisi puisi
gelap, di mana yang disimbolkan, yang merupakan rekaan, diungkapkan dengan
referensi yang menyimbolkan dari trasdisi sastra dan puisi su-fistik dunia.
Terjadi pencanggihan diksi, dengan simbol-simbol dari referensi sastra dan
puisi sufistik dunia - banyaknya karya sastra sufistik diterjermahkan.
Mungkin juga semacam laku
escapisme transendental dari suasana sosial-poli-tik asimentris yang menekan.
Dengan kata lain, puisi sufistik dekade 80-an merupakan masalah pilihan tema
yang universal, tapi tetap dikembangkan dalam tradisi dandyisme puisi rimbun
simbol - yang dipetik dari khazanah sastra sufistik. Semacam penjumlahan diksi.
Fakta itu membuat saya percaya bila puisi sufistik dekade 80-an tidak lahir
dari pengalaman riil, bukan ungkapan sesuatu yang Prima, tapi cuma dandyisme
tema - pertama dalam perimbunan diksi simbolik. Palsu.
PUISI sufistik dekade 80-an
merupakan puisi palsu - meski ada puisi yang ditulis oleh penganut sufistik
dengan pengalaman riil sufistik. Sama-sama ada dalam tradisi simbolisme dan
dandyisme merimbunkan diksi dengan simbol-simbol yang dipetik dari khazanah
sastra dunia atau yang non-sastra. Semacam kebutuhan untuk menunjukkan
penjelajahan intelektual dan keluasan wawasan. Tak mengherankan bila
puisi-puisi yang non-intelektualistik, yang tak menunjukkan wawasan mendunia
jadi sesuatu yang mencengangkan. Dianggap mutiara terpendam.
D Zawawi Imron, saya pikir,
dijulangkan oleh itu. Kesederhanaannya - dalam sikap hidup dan berpuisi - jadi
keutamaan. Idiom yang sangat lokal, diksi yang tak rumit, pengalaman yang riil
seorang pedalaman yang kental tradisi pesantrennya jadi kekuatan. Sama seperti
yang dilakukan oleh Linus Suryadi AG, yang mencoba memotret keluguan sahaya
wanita Jawa dari luar, lewat prosa lirik panjangnya: Pengakuan Pariyem. Sesuatu
yang ditafsirkan sebagai kebangkitan genre sastra lokal.
Sesuatu yang tidak dengan tradisi
intelektual di dekade 80-an jadi alternatif - yang tak mungkin terulang saat
ini, saat Postmo jadi anti intelktualisme, dalam ujud anti modernisasi terpola
ke Barat, yang diungkapkan dengan intelektualistik. Dan posisi Aming Aminoedhin
jadi nanggung karena ia hanya mengikuti pola perpuisian yang dominan, tapi tak
memberi sumbangan tema atau pengayaan perimbunan diksi yang dandyistik yang
orsinil. Mungkin.***
Daftar Pustaka
(berlaku bagi semua
artikel “Angkatan ’80-an” di dalam blog ini)
“Menggugat Stagnasi Sastra Indonesia,” Swadesi, 2
Januari, 1988, hal. 4.
Al-Pauhi, Syukri Datasan. “Tentang Keterpencilan Sastra
Kita,” Singgalang, 15 Agustus 1988, hal. 6.
Asi, Harry Ganda. “Dilemma Sastra Kita,” Merdeka, 9
Agustus, 1984, hal. 7.
Baryadi, Praptomo. “Lagi, Tentang Keterpencilan Sastra di
Tengah Masyarakatnya,” Kedaulatan Rakyat, 14 Desember, 1983, hal.
7.
Eneste, Pamusuk. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia
Modern. Jakarta: Djambatan, 1988.
————-. Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern Edisi
Baru. Jakarta: Djambatan, 1990.
F-1. “Penyair Muda Tidak Protes Lagi,” Suara Karya
Minggu, 13 September, 1987, hal. 2.
GM, Baharuddin. “Kenapa Terjadi Krisis Sastra?” Pelita,
20 April, 1982, hal. 5.
H.B. Jassin. Koran dan Sastra Indonesia.
Jakarta: Puspa Swara, 1994.
Hagguman, Willy A. “Kritik Sastra Sawo Manila,” Suara
Karya Minggu, 7 Februari, 1988, hal. 2.
Heryanto, Ariel, ed. Perdebatan
Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
I Made Suantha. “Kritik Sastra, Sebuah Proses
pematangan,” Berita Buana, 2 Agustus, 1988, hal. 4.
Imran, Ahda. “Puisi Sufistik Lengang Sendiri.” Style
Sheet. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/07/khazanah/index.html
(10 Desember
2006)
Johan. “Blog: Termasuk Karya Sastra?” Style Sheet. http://yuljeworo.sekolah-bisnis.com/?p=12 (10 Desember 2006)
M.S., Pamudji. “Memotret Sastra Indonesia Dewasa Ini,” Sinar
Harapan, 10 Juli, 1986, hal. 7.
Pracahyo, Budoyo. “Polemik Sastra Berkembang Melejit,” Harian
Terbit, 19 Agustus, 1989, hal. 5.
Prahara, Naim Emel. “Melihat Sketsa Sastra Indonesia,” Eksponen,
5 Oktober, 1986, hal. 8 dan 12.
Prekantoro, Mulyono. “Kritik dalam Karya Sastra
Sufisme,” Yudha Minggu, 24 Juli, 1988, hal. 4.
R-32. “Angkatan dalam Kesusastraan Indonesia Dipertanyakan
Bisakah Diwujudkan?” Pelita, 15 Agustus, 1988, hal. 6.
Rahman, Jamal D. “Angkatan Sastra Neo-Sufistik,” Majalah
Gong Mahasiswa, I (Agustus, 1989), hal. 15.
Ramadhan, Reza Aditya. “Suasana Lain Sastra Pop,” Mingguan
Aceh Post, 11 November 1989, hal. 8.
Rampan, Korrie Layun. “Angkatan 80 dalam Sastra
Indonesia,” Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia. ed. E.
Ulrich Kratz. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000.
————-. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia.
Jakarta: Grasindo, 2000.
Rasyidin, Amir. “Sastra yang Merakyat,“ Merdeka
Minggu, 31 Maret 1985, hal. 6.
Riyono, Eddy Soet. “Peranan ‘Kritik Diam’ Dalam Dunia Sastra
Kita,” Pikiran Rakyat Bandung, 28 April, 1981, hal. 7.
Runua, Noeng. “Sastra Koran Sebuah Persoalan,” Suara
Karya, 4 Februari, 1983, hal.4.
Sarjono, Agus R. Sastra Indonesia dalam Empat Orba.
Yogyakarta: Bentang, 2001.
Setia, Beni. “Dandyisme Puisi ‘80-an.” Style Sheet. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=160829 (10 Desember
2006)
S.R.H. Sitanggang, Zainal Hakim, dan Agus Sri Danardhana. Struktur
Drama Indonesia Modern 1980-1990. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1995.
Sukayono, Edi. “Warna Lokal Ditilik dari Pengarang dan
Pengamat Sastra,”Suara Karya Minggu, 26 Juni, 1988, hal. 5.
Winarno, Budi. “Sastra Indoenesia, Sastra Tergugat,” Minggu
Ini, VII (Maret, 1987), hal. 8.
Daftar Pustaka
(berlaku bagi semua artikel
“Angkatan ’80-an” di dalam blog ini)
“Dasawarsa 80-an.” Style Sheet. http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Indonesia
(10 Desember 2006)
“Menggugat Stagnasi Sastra
Indonesia,” Swadesi, 2 Januari, 1988, hal. 4.
Al-Pauhi, Syukri Datasan. “Tentang
Keterpencilan Sastra Kita,” Singgalang, 15 Agustus 1988, hal. 6.
Asi, Harry Ganda. “Dilemma Sastra
Kita,” Merdeka, 9 Agustus, 1984, hal. 7.
Baryadi, Praptomo. “Lagi, Tentang
Keterpencilan Sastra di Tengah Masyarakatnya,” Kedaulatan Rakyat, 14
Desember, 1983, hal. 7.
Eneste, Pamusuk. Ikhtisar
Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Djambatan, 1988.
————-. Leksikon Kesusastraan
Indonesia Modern Edisi Baru. Jakarta: Djambatan, 1990.
F-1. “Penyair Muda Tidak Protes
Lagi,” Suara Karya Minggu, 13 September, 1987, hal. 2.
GM, Baharuddin. “Kenapa Terjadi
Krisis Sastra?” Pelita, 20 April, 1982, hal. 5.
H.B. Jassin. Koran dan Sastra
Indonesia. Jakarta: Puspa Swara, 1994.
Hagguman, Willy A. “Kritik Sastra
Sawo Manila,” Suara Karya Minggu, 7 Februari, 1988, hal. 2.
Heryanto, Ariel, ed. Perdebatan
Sastra Kontekstual. Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
I Made Suantha. “Kritik Sastra,
Sebuah Proses pematangan,” Berita Buana, 2 Agustus, 1988, hal.
4.
Imran, Ahda. “Puisi Sufistik
Lengang Sendiri.” Style Sheet. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/102006/07/khazanah/index.html
(10 Desember 2006)
Johan. “Blog: Termasuk Karya
Sastra?” Style Sheet. http://yuljeworo.sekolah-bisnis.com/?p=12
(10 Desember 2006)
M.S., Pamudji. “Memotret Sastra
Indonesia Dewasa Ini,” Sinar Harapan, 10 Juli, 1986, hal. 7.
Pracahyo, Budoyo. “Polemik Sastra
Berkembang Melejit,” Harian Terbit, 19 Agustus, 1989, hal. 5.
Prahara, Naim Emel. “Melihat
Sketsa Sastra Indonesia,” Eksponen, 5 Oktober, 1986, hal. 8 dan 12.
Prekantoro, Mulyono. “Kritik dalam
Karya Sastra Sufisme,” Yudha Minggu, 24 Juli, 1988, hal. 4.
R-32. “Angkatan dalam Kesusastraan
Indonesia Dipertanyakan Bisakah Diwujudkan?” Pelita, 15 Agustus, 1988,
hal. 6.
Rahman, Jamal D. “Angkatan Sastra
Neo-Sufistik,” Majalah Gong Mahasiswa, I (Agustus, 1989), hal. 15.
Ramadhan, Reza Aditya. “Suasana
Lain Sastra Pop,” Mingguan Aceh Post, 11 November 1989, hal. 8.
Rampan, Korrie Layun. “Angkatan 80
dalam Sastra Indonesia,” Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia. ed.
E. Ulrich Kratz. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000.
————-. Angkatan 2000 dalam
Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2000.
Rasyidin, Amir. “Sastra yang
Merakyat,“ Merdeka Minggu, 31 Maret 1985, hal. 6.
Riyono, Eddy Soet. “Peranan ‘Kritik
Diam’ Dalam Dunia Sastra Kita,” Pikiran Rakyat Bandung, 28 April,
1981, hal. 7.
Runua, Noeng. “Sastra Koran Sebuah
Persoalan,” Suara Karya, 4 Februari, 1983, hal.4.
Sarjono, Agus R. Sastra
Indonesia dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang, 2001.
Setia, Beni. “Dandyisme Puisi
‘80-an.” Style Sheet. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=160829
(10 Desember 2006)
S.R.H. Sitanggang, Zainal Hakim,
dan Agus Sri Danardhana. Struktur Drama Indonesia Modern 1980-1990.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995.
Sukayono, Edi. “Warna Lokal
Ditilik dari Pengarang dan Pengamat Sastra,” Suara Karya Minggu, 26
Juni, 1988, hal. 5.
Winarno, Budi. “Sastra Indoenesia,
Sastra Tergugat,” Minggu Ini, VII (Maret, 1987), hal. 8.
Terimakasih abang Danang, ini sangat membantu penelitian saya..
BalasHapusAndai abang Danang mau berbagi email dengan saya untuk meminta bantuannya :')