1.
Logika
Secara
etimologis logika berasal dari bahasa Yunani logos yang berarti “kata atau pikiran”. Namun pengertian dasarnya
sering disebut sebagai ilmu berkata-kata atau berpikir benar, bukan tepat
melainkan benar.
Menurut Aristoteles logika adalah bagian
filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara penyusun pikiran.
Aristoteles sangat menaruh perhatian pada bagian filsafat ini, bahkan
menganggapnya sebagai ilmu pendahulu filsafat. Ia di anggap sebagai bapak
logika terutama dengan buku yang disusun murid-muridnya yang berjudul “organon”
atau instrumen tentang logika formal.
Logika demikian bersifat alami atau
disebut logika naturalis (natural logics) yang berdasarkan kodrat atau
fitrahnya saja misalnya digunakan untuk membedakan mana yang bisa dimakan atau
tidak bisa dimakan. Logika buatan atau hasil pengemban yang disebut logika
artifisial (artificial logics) merupakan cara membedakannya berdasarlkan
laboratorium dengan cara menemukan unsur apa yang berada di dalam tanaman
sehingga dapat dimakan atau tidak bisa dimakan.
Jenis-jenis
logika ada 2 yaitu :
a. Logika
induktif merupakan cara berpikir dimana di tarik suatau kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Misalnya kita
mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai fakta, gajah mempunyai mata, demikian
juga dengan singa, kucing, dan berbagai binatang lainnya. Dari kenyataan ini
kita dapat menarik kesimpulan umum yakni semua binatang mempunyai mata.
b. Logika
deduktif merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum
ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penariakan kesimpulan secara deduktif
biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus
disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang
mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai
premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang di dapat
dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut.
Contoh
:
Semua
makhluk mempunyai mata (premis
mayor)
Si
Polan adalah seorang makhluk (premis
minor)
Jadi
SiPolan mempunyai mata (kesimpulan)
Kesimpulan
yang diambil bahwa Si Polan mempunyai mata adalah sah menurut penalaran
deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang
mendukungnya.
2.
Etika
Etika dalam
bahasa Yunani, etos artinya
kebiasaan, habit atau custom. Maksudnya hampir tidak ada orang yang tidak
memiliki kebiasaan baik atau buruk. Oleh karena itu istilah etis dan tidak etis
dinilai kurang tepat. Adapun istilah yang lebih tepat adalah etika baik dan
etika jahat.
Etika adalah
bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku seseorang dari
sudut baik dan jahat. Semua perilaku mempunyai nilai, jadi tidak benar suatu
perilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepatnya adalah perilaku beretika
baik atau perilaku beretika tidak baik, sejalan dengan perkembangan penggunaan
bahasa yang berlaku sekarang. Istilah etis dan tidak etis, tidak baik untuk hal
yang sama. Demikian juga etis baik dan baik dan etis tidak baik. Dalam hal
perilaku digunakan istilah baik dan jahat untuk etika karena perbuatan manusia
yang tidak baik berarti merusak sedangkan perbuatan yang baik berarti
membangun.
2.1 Jenis Etika
1. Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan
sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang
dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika
lahir dari filsafat. Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika
tidak dapat dilepaskan dari filsafat] Karena itu, bila ingin
mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur
filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
1.
Non-empiris Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang
didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian,
filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di
balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya
berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya
tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2.
Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara
mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas
pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan
demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi
ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai.
Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya
menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban,
dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan
kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan
uji.
2.
Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu diingat
berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan
hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya
masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum,
karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara
umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat
didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi
teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan
etika teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya,
etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi
tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan
bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi Karena itu,
etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris Etika teologis Kristen memiliki
objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan
tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang
seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak
Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika
teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem
nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang
lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.
3.
Estetika
Estetika adalah
bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari
sudut indah dan jelek. Secara umum estetika disebut sebagai kajian filsafati
mengenai pengindraan atau persepsi yang menimbulkan rasa senang dan nyaman pada
suatu pihak, rasa tidak senang dan tidak nyaman pada pihak lainnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa ada baiknya bagi kita untuk menghargai pepatah “De gustibus non disputdum” yang artinya
meskipun tidak mutlak, tidak untuk segala hal. Secara fisual dan imajinasi
estetika disebut juga kajian mengenai keindahan atau teori tentang cita rasa,
kritik dalam kesenian kreatif serta pementasan. Tokoh paling terkenal dalam
bidang ini adalah Alexander Baumgarten (1714-1762) dalam disertasinya pada 1735
yang justru dianggap awal diwacanakannya estetika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar