Ada yang lain lhooo

Selasa, 05 Februari 2013

APRESIASI PROSA FIKSI 4


KESENJANGAN SOSIAL TOKOH UTAMA DALAM NOVEL GADIS PANTAI
A.    Latar Belakang
Dalam istilah “cerita fiksi” terdapat kata “cerita” dan kata “fiksi” atau biasa disebut dengan rekaan. Sebenarnya semua cerita mestinya adalah rekaan. Namun pada saat ini, banyak juga cerita yang bukan fiksi, atau biasa disebut cerita nyata. Hal ini meluas dari cerita fiksi pada dahulunya yang hanya menciptakan cerita yang rekaan atau fiksi. Cerita yang seperti itu disebut cerita non-fiksi. Banyak sekali cerita non-fiksi yang telah diciptakan oleh para pengarang.
Cerita fiksi tidak bisa terlepas dari unsur-unsur yang membentuknya. Mulai dari unsur intrinsik, yaitu unsur yang berasal dari dalam tubuh cerita fiksi, dan unsur ekstrinsik, yaitu unsur yang berasal dari luar isi dan bentuk cerita fiksi. Unsur intrinsik merupakan kata yang sering kita dengar jika berurusan dengan cerita fiksi. Yaitu bagian dari tema, tokoh dan penokohan, setting atau latar, gaya bahasa, alur, serta amanat.
Salah satu unsur yang memberikan ‘kehidupan’ pada cerita fiksi adalah tema. Dengan tema, pengarang dapat menentukan batasan-batasan yang menjadi ide dasar untuk membuat cerita. Konflik, tokoh dan penokohan, latar dapat dibatasi oleh tema. Sehingga cerita yang ingin dibuat tidak akan melebar ataupun meluas.
“manusia dalam cerita fiksi diceritakan. Cara bercerita pengarang yang satu berbeda dengan pengarang lainnya. Tidak semua kisah dalam kehidupan manusia itu diceritakan. Jika demikian, maka cerita akan menjadi sangat panjang. Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan tokoh diseleksi manakah yang paling relevan dan mendukung keseluruhan cerita. Dengan imajinasi dan kecakapan teknisnya, pengarang atau juru cerita mampu memilih unsur-unsur kejadian dan kehidupan manusia yang relevan untuk diceritakan (mewakili apa yang hendak diceritakan kepada penikmat).”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, jika memang penggunaan tema dapat menjadi pembatas cerita. Sehingga cerita tidak akan meluas, topik-topik atau gagasan-gagasan lebih fokus.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan jika tema merupakan unsur penting guna membatasi pengarang dalam membuat cerita. Dengan tema, gagasan atau ide dasar pengarang lebih dapat difokuskan, sehingga tidak membuat cerita berbelit-belit. Dari uraian ini, akan dibahas tentang tema dari cerita fiksi Gadis Pantai karya Pramodya Ananta Toer, yaitu kesenjangan sosial tokoh utama.
B.     Pembahasan
Cerita berkisah tentang seseorang atau tentang beberapa orang. Jika menghadapi sebuah cerita, orang selalu bertanya “ini cerita (tentang) siapa?”, “Siapa pelaku utamanya?” Pelaku ini yang disebut dengan tokoh cerita. Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam peristiwa cerita.
Tokoh pada umumnya berwujud manusia. Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan novel pertama dari trilogi yang ditulisnya, sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Novel ini bercerita mengenai relasi antara mas nganten dengan pembesar yang “memeliharanya”. Pembesar atau Ndoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki korelasi dengan pemerintah Belanda. Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Pada dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja.
Sejak semula novel ini menggambarkan betapa hebatnya sistem yang mengedepankan kekuasaan seseorang pada masa itu. Dan juga menggambarkan bagaimana masyarakat setempat berlomba untuk menikahkan anak gadisnya dengan para pembesar Jawa (Bendoro) dengan maksud untuk menaikkan derajat, menjadi orang yang berderajat dan mendapatkan prestisi di kalangannya. Selain itu juga, novel ini juga menggambarkan usaha-usaha masyarakat setempat (terutama kalangan Bendoro atau priyayi) untuk menjadi sama dengan Belanda. Dari makanan yang para priyayi makan, dari perangkat makan (seperti sendok-garpu, pisau makan, serta piring yang digunakan), kebiasaan dan simbol-simbol budaya yang kebelanda-belandaan, hingga sampai kemampuan dalam berbahasa Belanda.

Hal ini dapat kita lihat dari kutipan sebagai berikut.

“Seperempat jam kemudian terdengar suara Bendoro Guru berbicara dengan bahasa yang mereka tak kenal dan suara Agus Rahmat menjawab dalam bahasa yang mereka pun tidak kenal.”

“Betapa hebatnya Bendoro mengajar putera-puteranya,” kepala kampung berbisik. “Sekecil itu sudah bisa bicara bahasa Belanda. Satu kata pun kita tak paham. Anakmu nanti,” kepala kampung menghadapkan mukanya kepada Gadis Pantai, “juga bakal diajarkan seperti itu.” Gadis Pantai Kecut, wajahnya meraih tangan emak dan menggenggamnya erat-erat.” (Pramoedya, 2007:20)

“… Roti hangat yang masih mengepul yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah tersayat-sayat di atas meja. Botol-botol selai, serbuk coklat, gula-kembang, perasan air jeruk, krupuk udang, dan bubur havermouth, telah terderet diatas meja. Kopi mengepul-ngepul dari cangkir porselen buatan Jepang. Sendok-garpu, pisau, semua dari perak putih mengkilat berderet-deret memusingkan kepala Gadis Pantai. Sebuah tempat buah dari perak begitu menyilaukan matanya. Otaknya terpilin-pilin dan ia lapar. apa guna alat sebanyak itu dan serba mengkilat?”

“…. Gadis pantai menggigil. Ia tak tahu yang bernama coklat, gula-kembang, dan mana pula selai.” (Pramoedya, 2007:42)

Dari kutipan diatas dapat dilihat dengan jelas, betapa kemampuan berbahasa Belanda itu menjadi sesuatu yang sangat mewah. Keinginan mereka selain mendapatkan prestisi masyarakat dan juga menaikkan derajatnya, mengawinkan anaknya dengan Bendoro adalah salah satu tujuan agar kelak anak yang dilahirkan oleh anaknya (cucu) dapat hidup dan dibesarkan di lingkungan priyayi sehingga anak tersebut dapat menjadi seorang pembesar pula.
Pola pikir dan bahkan bentuk fisik pun tergambar dalam novel ini. Betapa sungguh berbedanya tubuh seorang priyayi dengan rakyat jelata. Sehingga terlihat siapa yang seorang priyayi dan mana pula ia seorang dari kalangan bawah. Orang yang langsat adalah orang yang mulia, sedangan orang yang tubuhnya terbakar  sinar matahari adalah hina. Seperti kutipan berikut.

“Waktu Bendoro terlelap tidur, dengan kepala pada lengannya, ia mencoba mengamati wajahnya. Begitu langsat, pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terkelantang di terik matahari. Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda! Ia ingin rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik kecil dulu. Ia tak berani. Ia tergeletak diam-diam di situ tanpa berani bergerak, sampai jago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok. Jam tiga. Dengan sigap Bendoro bangun. Dan dengan sendirinya ia pun ikut serta bangkit.” (Pramoedya, 2007:33)

C.    Kesimpulan
Tema merupakan dasar dari sebuah ide yang akan membatasi sebuah karangan sehingga cerita tidak akan keluar dari jalur gagasan yang dimiliki oleh pengarang. Penggunaan tema disesuaikan dengan gagasan yang ada di dalam pemikiran pengarang yang dilihatnya dari sekitarnya sebagai masyarakat. Seperti tema dari Gadis Pantai karya PAT, yang menyuguhkan cerita tentang kesenjangan sosial pada era dahulu dimana kekuasaan merupakan hal yang paling disegani. Sehingga ada jurang pemisah yang lebar dan dalam antara kaum bangsawan dengan kaum pribumi yang melarat.
Daftar Rujukan
Ananta T. Pramudya. 1987. Gadis Pantai. Jakarta. Hasta Mitra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar