BAB I
ONTOLOGI
(Hakikat Apa yang Dikaji)
Berasal dari bahasa yunani : on/ontos = ada dan logos
= ilmu. Jadi ontology adalah ilmu tentang yang ada. Secara ringkas membahas
realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi
berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu,
ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui
kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir dan pola
berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar
pembahasan realitas.
(Penanggung jawab:
Ervina Rufiana Wati)
1.1 Metafisika
Bidang
telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari
setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah.
Tafsiran
yang paling pertama adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib
(supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang
berdasarkan pemikiran supernaturalisme, di mana manusia percaya bahwa terdapat
roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam benda-benda seperti batu, pohon
dan air terjun.
Lawan
dari supernaturalisme adalah paham naturalisme yang menolak pendapat bahwa
pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural. Materialisme,
yang merupakan paham berdasarkan naturalisme ini berpendapat bahwa
gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib,
melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat
dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Kaum
mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala
kimia-fisika semata. Sedangkan kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik
yang berbeda secara subtans dengan proses tersebut di atas. Aliran monistik
mempunyai pendapat yang tidak membadakan antara pikiran dan zat: hanya berbeda
dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtans yang
sama.
Ilmu
merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.
Makin jauh kita beravontur dalam penjelajahan ilmiah masalah-masalah mau tidak
mau akan timbul. Jadi pada dasarnya tiap ilmuan boleh mempunyai filsafat
individual yang berbeda-beda.
Titik
pertemuan kaum ilmuan dari semua ini adalah
sifat pragmatik dari ilmu. Dalam satu komitmen filsafati adalan tidak
relevan. Tetapi setelah keluar dari komitmen, berpisah dengan memilih koridor
spiritualnya masing-masing yang berbeda, dalam berkontemplasi dan memberikan
makna.
(Penanggung
jawab: Ayu Novitasari)
1.3 Peluang
Dasar teori keilmuan di
dunia ini tidak akan pernah
terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadiaan, hanya kesimpulan yang
probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan
dimana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Probabilitas merupakan salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk
mendeskripsikan realitas didalam kehidupan sehari-hari. Bahkan aplikasinya
tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian tersebut, namun juga
mencakup wilayah konversasi yang lebih serius dan refleksif, yaitu sains.
Dengan kata lain probabilitas acapkali digunakan sebagai perangkat eksplanasi
ilmiah.
Hal ini seolah-olah dijustifikasi oleh Carl Hempel,
salah satu filsuf sains utama pada abad 20, ketika dalam karya monumentalnya,
philosophy of natural science, mengakui adanya dua jenis wujud hukum yang
berperan didalam eksplanasi ilmiah, yaitu hukum yang universal dan hukum yang
probabilistik. Konsepsi probabilitas sebagai ekspresi kontingensi tidaklah
memberikan implikasi semacam itu. Tidaklah bertentangan dengan klaim
kontingensi jika obyek yang dianggap kontingen itu amat jarang muncul atau
bahkan tidak muncul sama sekali dalam aktualitas kehidupan.
Seorang theis biasa mengatakan, “mujikzat itu mungkin dialami oleh saya,” dan
meyakininya secara valid walaupun hingga ajalnya ia tidak pernah menikmati
mujikzat itu. Dengan kata lain, benar-salahnya suatu klaim kontingensi itu
tidak ditentukan oleh jumlah aktualisasi dan probabilitas yang ada. Konsepsi
ini tentang probabilitas bukannya tidak memiliki kemampuan prediksi sama
sekali, hanya saja yang ia berikan adalah pridiksi negatif belaka, bukan
prediksi positif.
(Penanggung
jawab: Ervina Rufiana Wati)
1.4 Beberapa Asumsi dalam Ilmu
Ilmu
sekadar merupakan pengetahuan yang
mempunyai kegunaan praktis yang dapat
membantu kehidupan manusia secara pragmatis.
Sekiranya ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat disnatalis, yang
mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang tertangguk dalam pengalaman
manusia, maka pembatasan ini adalah perlu.
Dalam
mengembangkan asumsi harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian dislipin keilmuan. Asumsi harus
operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoretis. Kedua, asumsi harus
disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang
seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaahan ilmiah
sedangkan asumsi kedua adalah asumsi yang mendasari telaahan moral.
Seorang
ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis
keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula
konsep pemikiran yang dipergunakan.
(Penanggung
jawab: Juwita Harna Ambarwati)
1.5 Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
Apakah
batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu? Apakah yang menjadi
karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilu dari
pengetahuan-pengetahuan lainnya? Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah
sangat sederhana: ilmu memulai penjelajahannya pada penglaman manusia dan
berhenti di batas pengalaman manusia. Mengapa ilmu hanya membatasi daripada
hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita? Jawabnya terletak pada ungsi
ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia: yakni sebagai alat pembantu manusia
dalam menanggulangi masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Menurut
filsuf ilmu bahkan dalm batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang
dalam menentukan benar salahnya suatu pernyataan.
Cabang-cabang Ilmu
Pada
dasarnya cabang-cabang ilmu berkembang dari dua cabang yakni filsafat alam yang
kemudian menjadi rumpun ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral
yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial (the sosial
sciences). Ilmu- ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu
alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological science). Ilmu alam
bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian
bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia
(mempelajari subtansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu
bumi (atau the earth science yang mempelajari bumi kita ini).
Ilmu
sosial berkembang agak lambat dibandingkan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya
terdapat cabang utama ilmu sosial yakni antropologi, psikologi, ekonomi,
sosiologi, dan ilmu politik. Cabang ilmu sosial ini kemudian mempunyai
cabang-cabang lagi seperti umpamanya antropologi terpecah menjadi lima yakni
arkeologi, antropologi fisik, linguistuk, etnlogi dan antropologi
sosial-kultural.
Disamping
ilmu-ilmu alam da ilmu sosial, pengetahuan mencakup juga humaniora dan
matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama, bahasa dan
sejarah.
(Penanggung
jawab: Mutia Fadhila)
BAB II
EPISTEMOLOGI
(Cara
Mendapatkan Pengetahuan yang Benar)
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme
(pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat,
karakter dan jenis pengetahuan. Topik
ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam
bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana
karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan
berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode
positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
(Penanggung jawab: Sandro Ramadhan)
2.1
Jarum Sejarah Pengetahuan
Kriteria
kesamaan dan bukan perbedaan menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua
menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat
jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan yang lain. Konsep dasar ini baru
mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran pada
pertengahan abad ke-17. Jadilah wajar saja kalau dalam kurun waktu itu tidak
terdapat perbedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang kita
ketahui adalah pengetahuan. Dengan berkembangnya Abad Penalaran maka konsep
dasar berubah dari kesamaan menjadi perbedaan yang jelas antara berbagai
pengetahuan.
Salah satu cabang pengetahuan yang
berkembang menurut jalannya sendiri adalah ilmu yang berbeda dengan
pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dalam segi metodenya. Metode keilmuan
sangat berbeda dengan ngelmu yag
merupakan paradigma dari abad pertengahan dan dapat dibedakan dari apa yang
ditelaahnya serta untuk apa ilmu itu dipergunakan.
Sebuah kalimat yang patut diingat
oleh mereka yang mendalami perkembangan ilmu adalah “Jangan putar jarum
sejarah!”.
(Penanggung jawab: Juwita Harna Ambarwati)
2.2
Pengetahuan
Asal
usul pengetahuan termasug hal yang sangat penting dalam epistemology. Untuk
mendapatkan darimana pengetahuan itu muncul (berasal) bisa dilihat dari
aliran-aliran dalam pengetahuan, dan bisa dengan cara metode ilmiah, serta dari
sarana berpikir ilmiah.
Rasional
Pengetahuan rasional atau pengetahuan yang
bersumber dari akal (rasio) adalah suatu pengetahuan yang dihasilkan dari
proses belajar dan mengajar, diskusi ilmiah, pengkajian buku, pengajaran
seorang guru, dan sekolah. Hal ini berbeda dengan pengetahuan intuitif atau
pengetahuan yang berasal dari hati. Pengetahuan ini tidak akan didapatkan dari
suatu proses pengajaran dan pembelajaran resmi, akan tetapi, jenis pengetahuan
ini akan terwujud dalam bentuk-bentuk “kehadiran” dan “penyingkapan” langsung
terhadap hakikat-hakikat yang dicapai melalui penapakan mistikal, penitian
jalan-jalan keagamaan, dan penelusuran tahapan-tahapan spiritual. Tokoh-tokoh
paham rasionalisme yaitu : Agustinus,Johanes Scotus, Avicena, Rene Descrates,
Spinoza, Leibniz, Fichte, Hegel, Plato, Galileo, Leonardo da Vinci.
Emperikal
Tak diragukan bahwa indra-indra lahiriah
manusia merupakan alat dan sumber pengetahuan, dan manusia mengenal objek-objek
fisik dengan perantaraanya. Setiap orang yang kehilangan salah satu dari
indranya akan sirna kemampuannya dalam mengetahui suatu realitas secara
partikular. Misalnya seorang yang kehilangan indra penglihatannya maka dia
tidak akan dapat menggambarkan warna dan bentuk sesuatu yang fisikal, dan lebih
jauh lagi orang itu tidak akan mempunyai suatu konsepsi universal tentang warna
dan bentuk. Begitu pula orang yang tidak memiliki kekuatan mendengar maka dapat
dipastikan bahwa dia tidak mampu mengkonstruksi suatu pemahaman tentang suara
dan bunyi dalam pikirannya. Atas dasar inilah, Ibn Sina dengan menutip ungkapan
filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan
indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian
bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal yang
sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif
Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan
rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak
bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya
bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi
adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak
abadi.
Akan tetapi, filosof-filosof Islam
beranggapan bahwa indra-indra lahiriah tetap bernilai sebagai sumber dan alat
pengetahuan. Mereka memandang bahwa peran indra-indra itu hanyalah berkisar
seputar konsep-konsep yang berhubungan dengan objek-objek fisik seperti
manusia, pohon, warna, bentuk, dan kuantitas. Indra-indra tak berkaitan dengan
semua konsep-konsep yang mungkin dimiliki dan diketahui oleh manusia, bahkan
terdapat realitas-realitas yang sama sekali tidak terdeteksi dan terjangkau
oleh indra-indra lahiriah dan hanya dapat dicapai oleh daya-daya pencerapan
lain yang ada pada diri manusia.
Konsep-konsep atas realitas-realitas fisikal
dan material yang tercerap lewat indra-indra, yang walaupun secara tidak
langsung, berada di alam pikiran, namun juga tidak terwujud dalam akal dan
pikiran kita secara mandiri dan fitrawi. Melainkan setelah mendapatkan beberapa
konsepsi-konsepsi indrawi maka secara bertahap akan memperoleh
pemahaman-pemahaman yang lain. Awal mulanya pikiran manusia sama sekali tidak
mempunyai konsep-konsep sesuatu, dia seperti kerta putih yang hanya memiliki
potensi-potensi untuk menerima coretan, goresan, dan gambar. Dan aktivitas
persepsi pikiran dimulai dari indra-indra lahiriah.
Mengapa jiwa yang tunggal itu sedemikian
rupa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam menyerap semua pengetahuan?
Filosof Ilahi, Mulla Sadra, mengungkapkan bahwa keragaman pengetahuan dan
makrifat yang dimiliki oleh manusia dikarenakan kejamakan indra-indra
lahiriahnya. Mulla Sadra juga menambahkan bahwa aktivitas persepsi-persepsi
manusia dimulai dari jalur indra-indra itu dan setiap pengetahuan dapat
bersumber secara langsung dari indra-indra lahiriah atau setelah berkumpulnya
konsepsi-konsepsi indrawi barulah pikiran itu dikondisikan untuk menggapai
pengetahuan-pengetahuan lain. Jiwa itu secara esensial tak mempu menggambarkan
objek-objek fisikal tanpa indra-indra tersebut. Tokoh-tokoh paham Empirisme
yaitu : John Locke, Berkeley, David Hume, Gothe, August Comte.
Fenomenal
Paham ini dikemukakan oleh Immanuel Kant,
filsuf Jerman. Dia berusaha mendamaikan pertentangan antara empirisme dan
rasionalisme. Menurut Kant, pengetahuan hanya bisa terjadi oleh kerjasama
antara pengalaman indra dan akal budi, dan tidak mungkin yang satu bekerja tanpa
yang lain. Indra hanya memberikan data yakni warna,cita-rasa, bau, dan
lain-lain. Untuk memperoleh pengetahuan, kita harus keluar atau menembus
pengalaman, pengetahuan terjadi dengan menghubung-hubungkan, dan ini dilakukan
oleh rasio (akal).
Metode Ilmiah
Ini digunakan oleh para ilmuwan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sesuatu. Metode Ilmiah terdiri dari :
a. Pengamatan / pengalaman yang digunakan
sebagai dasar untuk merumuskan masalah.
b. Hipotesa, untuk penyelesaian yang berupa
saran. Ini bersifat sementara dan perlu diverifikasi lebih lanjut. Dalam
hipotesa, kebenaran masih bersifat probalitas. Kegiatan akal bergerak keluar
dari pengalaman, mencari suatu bentuk untuk menyusun fakta-fakta dalam kerangka
tertentu. Hipotesa dilakukan melalui penalaran induksi, dan memuat kalkulasi
dan deduksi.
c. Eksperimentasi, merupakan kajian terhadap
hipotesa. Hipotesa yang kebenarannya dapat dibuktikan dan diperkuat dinamakan
hukum, sedangkan di atas hokum terdapat teori.
Terjadinya Pengetahuan
Masalah terjadinya pengetahuan adalah
masalah yang amat penting dalam epistemologi, sebab jawaban terhadap terjadinya
pengetahuan maka seseorang akan berwarna pandangan atau paham filsafatnya.
Jawaban yang paling sederhana tentang terjadinya pengetahuan ini apakah berfilsafat
a priori atau a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang
terjadi tanpa adanya ata melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun
pengalman batin. Adapun pengetahuan a posteriori adalah pengetahuan yang
terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada
kenyataan objektif.
Beberapa alat
yang digunakan untuk mengetahui terjadinya suatu pengetahuan ada
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan
dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang
paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang
memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera
pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman
(hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang
membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba
(kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu
benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga
pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada
alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya
sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya
John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan
pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera adalah
satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi
adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata
kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera
seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan
ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh
terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu
lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera
kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita
mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ
yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal
kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil
dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya
sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi
atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa
mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing
tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau
kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara
langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal
dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal
atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu
antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal
bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di atas
sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah
satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan
pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya
mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan
menipu.
Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi
hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada
juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa
pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses
penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul
kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam
maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat
kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan
alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi.
Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun
tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang
sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah
memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan
pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan
muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu
kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah
digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa
dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal
ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant
(1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung
tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya
bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa
mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak
antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan
generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya
tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat
memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni
pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi
akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi
akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi
bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan
pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib
lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan
yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme.
Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi
(iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat,
intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang
disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia
dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim
ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis
intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan
keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad
ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme
di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan
kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme,
‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi
Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang
mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian
positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar
dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai
sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.
Wahyu
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini
bahwa wahyu merupakan sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wakyu itu bukanlah
buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa
Jenis-Jenis Pengetahuan
Pada umumnya pengetahuan dibagi menjadi
beberapa jenis diantara nya :
Pengetahuan langsung (immediate);
Pengetahuan immediate adalah pengetahuan
langsung yang hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran.
Kaum realis (penganut paham Realisme) mendefinisikan pengetahuan seperti itu.
Umumnya dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana adanya,
khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah dikenal
sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah, binatang, dan beberapa
individu manusia. Namun, apakah perasaan ini juga berlaku pada
realitas-realitas yang sama sekali belum pernah dikenal dimana untuk sekali
meilhat kita langsung mengenalnya sebagaimana hakikatnya?. Apabila kita sedikit
mencermatinya, maka akan nampak dengan jelas bahwa hal itu tidaklah demikian
adanya.
Pengetahuan tak langsung (mediated);
Pengetahuan mediated adalah hasil dari
pengaruh interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang
lalu. Apa yang kita ketahui dari benda-benda eksternal banyak berhubungan
dengan penafsiran dan pencerapan pikiran kita.
Pengetahuan indrawi (perceptual);
Pengetahuan indrawi adalah sesuatu yang
dicapai dan diraih melalui indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan
satu pohon, batu, atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran
melalui indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita. Tanpa diragukan
bahwa hubungan kita dengan alam eksternal melalui media indra-indra lahiriah
ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto dimana gambar-gambar
dari apa yang diketahui lewat indra-indra tersimpan didalamnya. Pada
pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, seperti adanya
cahaya yang menerangi objek-objek eksternal, sehatnya anggota-angota indra
badan (seperti mata, telinga, dan lain-lain), dan pikiran yang mengubah
benda-benda partikular menjadi konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial
(seperti adat istiadat). Dengan faktor-faktor tersebut tidak bisa dikatakan
bahwa pengetahuan indrawi hanya akan dihasilkan melalui indra-indra lahiriah.
Pengetahuan konseptual (conceptual);
Pengetahuan konseptual juga tidak terpisah
dari pengetahuan indrawi. Pikiran manusia secara langsung tidak dapat membentuk
suatu konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan perkara-perkara eksternal tanpa
berhubungan dengan alam eksternal. Alam luar dan konsepsi saling berpengaruh
satu dengan lainnya dan pemisahan di antara keduanya merupakan aktivitas
pikiran.
Pengetahuan partikular (particular);
Pengetahuan partikular berkaitan dengan satu
individu, objek-objek tertentu, atau realitas-realitas khusus. Misalnya ketika
kita membicarakan satu kitab atau individu tertentu, maka hal ini berhubungan
dengan pengetahuan partikular itu sendiri.
Pengetahuan
universal (universal).
Pengetahuan universal mencakup
individu-individu yang berbeda. Sebagai contoh, ketika kita membincangkan
tentang manusia dimana meliputi seluruh individu (seperti Muhammad, Ali, hasan,
husain, dan …), ilmuwan yang mencakup segala individunya (seperti ilmuwan
fisika, kimia, atom, dan lain sebagainya), atau hewan yang meliputi semua
indvidunya (seperti gajah, semut, kerbau, kambing, kelinci, burung, dan yang
lainnya).
Dalam filsafat Islam, pengetahuan itu hanya
dibagi dua, yakni ilmu hudhuri dan hushuli. Dengan berdasarkan pada pembagian
pengetahuan di atas, apabila kita ingin menyingkronkan pembagian pengetahuan
menurut filsafat Islam, maka pengetahuan langsung (immediate) tersebut sama
halnya dengan pengetahuan hudhuri dan pengetahuan tak langsung (mediated),
pengetahuan indrawi, pengetahuan konseptual, pengetahuan articular, pengetahuan
universal tersebut dikategorikan sebagai pengetahuan hushul
(Penanggung jawab: Sandro Ramadhan)
2.3
Metode Ilmiah
Metode
ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan
secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Metode ilmiah mencantumkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu. Metode,
menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang
mempumyai langkah-langkah yang sistematis. Langkah-langkah metode ilmiah secara
umum: 1) observasi awal; 2) mengidentifikasi masalah; 3) meumuskan hipotesis;
4) melakukan eksperimen; dan 5) menarik kesimpulan hasil eksperimen. Metode
ilmiah didasarkan pada ciri-ciri keilmuan diantaranya: rasional, yaitu sesuatu
yang masuk akal dan terjangkau oleh penalaran manusia; empiris, yaitu
menggunakan cara-cara tertentu yang dapat diamati dengan menggunakan panca
indera; dan sistematis, yaitu menggunakan proses dengan langkah-langkah logis.
Proses
kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati
sesuatu. Setelah itu manusia menemukan suatu masalah dan berusaha untuk
memeahkannya. Dan dalam memecahkan masalah tersebut manusia memberikan reaksi
yang berbeda-beda sesuai perkembangan cara berpikir mereka. Berdasarkan sikap
manusia menghadapi masalah, maka Van Peursen(dalam Strategi Kebudayaan:1976 ) membagi perkembangan kebudayaan menjadi
tiga tahap, yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Tahap
mistis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya. Tahap ontologis adalah sikap manusia yang
idak lagi merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan gaib dan bersikap mengambil
jarak dari objek di sekitarnyasrta mulai melakukan penelaahan-penelaahan
terhadap objek tersebut. Sementara tahap fungsional adalah sikap manusia yang
bukan saja merasa telah bebas dari kepungan kekatan gaib dan mempunyai
pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap objek-objek di sekitarnya,
namun lebih memungsionalkan pengetahuan
itu bagi kepentingan dirinya.
Ilmu
mulai berkembang pada tahap ontologis, saat mansia terlepas dari kekuasaan
mistis yang memguasai gejala-gejala empiris. Manusia beranggapan bahwa segala
sesuatu dapat diteliti dan dibuktikan secara fisis. Secara ontologis, ilmu
hanya mengkaji masalah yang terdapat dalam ruang lingkup pengalaman manusia.
Selain
sebagai kunci dari proses penemuan pengetahuan, metode ilmiah juga memiliki
peran penting dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuan.
Sebuah laporan penelitian ilmiah mempunyai sistematika cara berpikir tertentu
yang tercermin dalam format dan tekniknya. Metode ilmiah tidak dapat diterapkan
penetahuan yang tidak termasuk ke dalam ilmu. Ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara
empiris. Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai,
namun tidak pernah sepenuhnya tangkapan itu sampai. Tiap langkah dalam
menemukan pengetahuan yang benar selalu diintai oleh kekeliruan. Namun,
bagaimanapun juga, ilmu selalu dibutuhkan oleh manusia. Dan hakikatnya manusia
yang sungguh-sungguh berilmu ialah mereka yang mengetahui kekurangan dan
kelebihan ilmu, di sisi lain mereka menerima ilmu apa adanya, mencintai dengan
bijaksana, serta menjadikannya bagian dari kepribadian dan kehidupannya.
(Penanggung jawab: Siti Fatichatus
Sarifah)
2.4
Struktur Pengetahuan Ilmiah
Pengetahuan yang diproses menurut metode
ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan
demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Pengetahuan ilmiah ini
diproses lewat serangkaian langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh
kedisiplinan, dan dari karakteristik inilah maka ilmu sering dikonotasikan
sebagai disiplin. Disiplin inilah yang memungkinkan ilmu berkembang relatif
lebih cepat bila dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Metode ilmiah mempunyai mekanisme
umpan balik yang bersifat kolektif yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan
kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sebaliknya bila ternyata bahwa sebuah
pengetahuan ilmiah yang baru itu benar, maka pernyataan yang terkandung dalam
pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai premis baru dalam kerangka pemikiran
yang menghasilkan hipotesis-hipotesis yang baru, yang bila kemudian ternyata
dibenarkan dalam proses pengujian akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan
ilmiah baru pula.
Ilmu pada dasarnya merupakan
kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang
memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala
tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan
keilmuan memungkinkan kita meramalkan
apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan
upaya untuk mengontrol agar ramalan
itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya
mempunyai tiga fungsi , yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol.
Secara garis besar terdapat tiga
jenis pola penjelasan yakni deduktif, probalistik, fungsional atau teleologis,
dan genetik. Penjelasan deduktif
mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala
dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan
sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara
induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian
seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang.
Penjelasan fungsional atau
teleologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya
dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah
perkembangan tertentu. Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor yang
timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah
yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin
keilmuan. Tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah
teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru dicapai
oleh beberapa disiplin keilmuan saja.
Secara mudah maka kita dapat
mengatakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan
tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi sedangakan hukum memberikan
kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin terjadi.
Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan “alat” yang dapat
kita pergunakan untuk mengontrol gejala alam.
Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan
hukum ini harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya,
harus bersifat unuversal. Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar
terpadu secara utuh dan konsisiten jelas memerlukan konsep yang mempersatukan
dan konsep yang mempersatukan tersebut adalah teori. Makin tinggi tingkat
keumuman sebuah konsep maka makin tinggi “teoretis” konsep tersebut. Pengertian
teoretis di sini dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang
dimaksud; artinya makin teoretis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang
dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Pengertian
yang membedakan antara pernyataan yang bersifat dasar dan terapan ini harus
dimiliki dengan baik, sebab kalau tidak maka kita mungkin melakukan pilihan
yang baik untuk jangka pendek namun kurang baik untuk jangka panjang.
Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya maka
pengembangan hukum-hukum ilmiah sukar sekali dilakukan dan “pada hakikatnya
telah ditinggalkan” untuk tujuan meramalkan, ilmu-ilmu sosial mempergunakan
metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau tahap-tahap
perkembangan. Kalau hal ini dikembalikan kepada hakikat manusia yang demikian
kompleks dengan serbaneka peranannya dalam masyarakat, serta variasi antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, maka gejala ini tidak
mengherankan. Namun hal ini tidaklah berarti bahwa metode ilmiah dari ilmu-ilmu
sosial berbeda dengan metode ilmiah dari ilmu-ilmu alam. Keduanya tetap
mempergunakan metode ilmiah yang sama namun dengan tahap penerapan dan
teknik-teknik operasional yang berbeda.
Prinsip dapat diartikan sebagai
pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu,
yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat
sebuah gejala.
Beberapa disiplin keilmuan sering
mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyusun teorinya. Postulat
merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut
pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah
proses yang disebut metode keilmuan. Bila postulat dalam pengajuannya tidak
memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang
harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan
pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji. Demikian juga dengan
bermacam-macam teori lainnya yang tersedia dalam khasanah pengetahuan ilmiah. Kita memilih teori yang
terbaik dari sejumlah teori-teori yang ada berdasarkan kecocokan asumsi yang
dipergunakan nya. Itulah sebabnya maka dalam pengkajian ilmiah seperti penelitian
dituntut untuk menyatakan secara tersurat postulat, asumsi, prinsip serta
dasar-dasar pikiran lainnya yang dipergunakan dalam mengembangkan argumentasi.
(Penanggung jawab: Yuli Andari
Syamsiati)
BAB III
AKSIOLOGI
(Nilai Kegunaan Ilmu)
Menurut bahasa Yunani, aksiologi
berasal dari perkataan axios yang berarti nilai dan logos berarti teori. Jadi
aksiologi adalah teori tentang nilai. Menurut Suriasumantri (1987 : 234)
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia (1995 : 19) aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika.
Menurut Bramel, aksiologi terbagi
tiga bagian, yaitu:
- Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
- Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
- Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dari definisi-definisi aksiologi di atas terlihat dengan
jelas bahwa permasalah utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai prtimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika . Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau
dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan
dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari
segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu
kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.
(Penanggung jawab: Ervina Rufiana
Wati)
3.1
Ilmu dan Moral
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia.
Karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara
lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri
bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan
sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Teknologi tidak hanya menjadi berkah
dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memdahkan untuk kerja manusia, namun
kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negative yang menimbulkan
malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali.
Disinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak kepada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika pemanfaatan ilmu tidak
berpihak kepada nilai-nilai kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan
malapetaka. Setiap ilmu pengetahuan akan
menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi
dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam memecahkan
masalah-masalah praktis baik yang berupa perangkat keras (hardware) maupun
perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala
alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi memanipulasi
factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan
mengarahkan proses yang terjadi. Disinilah masalah moral muncul kembali namun
dalam kaitannya dengan factor lain. Kalau dalam tahap kotemplasi masalah moral
berkaitan dengan metafisiska maka dalam tahap manipulasi ini maslalah moral
berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara Filsafati
dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi
aksiologi keilmuwan.
Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri sebenarnya sejak pertumbuhan ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral
namun dalam perspektif yang berbeda Copernicus
(1473 – 1543) mengajukan teori tentang kesemestaan alam “bumi” yang berputar
mengelilingi matahari.
Secara metafisika ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana
adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan
kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran
diluar bidang keilmuan antara lain agama. Para ilmu berjuang untuk menegakkan
ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan sumbernya yaitu “Ilmu
yang Bebas Nilai”.
Setelah pertarungan 250 tahun para ilmuan mendapat
kemenangan. Konflik bukan hanya terjadi dalam ilmu-ilmu alam saja tapi juga
cabang-cabang ilmu lain diantaranya ilmu sosial dimana berbagai idiologi
mencoba mempengaruhi metafisik keilmuan. Mendapat otonomi yang terbebas dari
segenap nilai yang bersifat dogmatik ini maka dengan leluasa ilmu dapat
mengembangkan dirinya.
Konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk
kongkrit yang berupa teknologi. Ilmu tidak saja bertujuan
memperjelas gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman, namun
lebih jauh lagi, memanipulasi fakta-fakta yang terkait dalam gejala tersebut
untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang telah terjadi. Contoh ilmu yang
mengembangkan teknologi untuk mencegah banjir.
- Bertrand Rusell perkembangan ini sebagai peralihan ilmu dari tahap “kontenplasi ke manipulasi”.
- Kontenplasi masalah moral berkaitan dengan metafisika keilmuan.
Manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan
pengetahuan ilmiah.
Dalam tahap manipulasi masalah moral akan muncul yang
berkaitan dengan metafisika keilmuan dengan penerapannya cara penggunaan
pengetahuan ilmiah. Secara filsafat tahap “pengembangan konsep” ditinjau dari
ontologi keilmuan, sedangkan “penerapan konsep” terdapat masalah moral ditinjau
dari aksiologi keilmuan. Setiap pengetahuan ilmiah, memiliki tiga dasar yaitu
ontologi, epistimologi, dan aksiologi.
Ilmu adalah hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan
dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu
bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial.
Seorang ilmuan mempunyai tanggung jawab sosial karena dia mempunyai fungsi
manfaat berkaitan keberlangsungan hidup bermasyarakat karena ilmu ciptaannya
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
(Penanggung jawab: Ervina Rufiana
Wati)
3.2
Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
Ilmu
merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi
dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial. Kreatifitas individu yang didukung
oleh sistem komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan
ilmu yang berjalan sangat efektif.
Ilmuan
mempunyai tanggung jawab sosial karena dia adalah warga masyarakat yang
kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat. Karena dia mempunyai
fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Tidak berhenti pada
penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab
agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk
membahas ruang lingkup yang menjadi tanggung jawab seorang ilmuan maka hal ini
dapat dikembalikan kepada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu itu terikat atau bebas
dari nilai-nilai tertentu, semua itu tergantung kepada langkah-langkah keilmuan
yang bersangkutan dan bukan kepada proses keilmuan secara keseluruhan.
Semua
penelaahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya
dengan proses pengambilan keputusan dalam hidup bermasyarakat. Tanggung jawan sosial seorang ilmuan dalam hal ini
adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan ruginya, baik dan buruknya;
sehingga penyelesaian yang obyektif dapat dimungkinkan. Seorang ilmuan
terpanggil dalam tanggung jawab sosial karena dia mempunyai kemempuan untuk
bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuannya yang dia
miliki.
Ilmuan
berdasarkan pengetahuannya memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang
terjadi. Kemampuan analisis seorang ilmuan mungkin pula menemukan alternatif
dari obyek permasalahan yang sedang menjadi pusat perhatian. Kemampuan analisis
seorang ilmuan dapat dipergunakan untuk mengubah kegiatan nonproduktif menjadi
kegiatan produktif yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Singkatnya dengan
kemampuan pengetahuannya seorang ilmuan harus dapat mempengaruhi opini
masyarakat terhadap masalah-masalahyang seyogyanya mereka sadari.
Seorang
ilmuan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan
teliti. Bukan saja jalan pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur
namun juga segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dukaji dengan teliti.
Seorang ilmuan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa
suatu pemikiran yang cermat. Kelebihan seorang ilmuan dalam berpikir secara
teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial.
Proses
menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuan.
Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap
etis seorang ilmuan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai
tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran
berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya.
Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuan
terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi
kebenaran tersebut namun juga sebagai prototipe moral yang baik. Di bidang
etika tanggung jawab sosial seorang ilmuan bukan lagi memberikan informasi
namun memberi contoh.
Salah
satu sendi masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuan tidak boleh
picik dan menganggap ilmu dan teknologi itun alpha dan omega dari
segala-galanya; masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang menyangga
peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran
laindi samping kebenaran keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang
hakiki. Namun, bila kaum ilmuan konsekuan dengan pandangan hidupnya, baik
secara intelektual maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat
modern itu akan berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini
merupakan tanggung jawab sosial seorang ilmuan. Kita tidak bisa lari
daripadanya sebab hal ini merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar
bagaimanapun kita tidak akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.
(Penanggung jawab: Juwita Harna
Ambarwati)
3.3
Nuklir dan Pilihan Moral
Pada tanggal 02 Agustus
1939, Albert
Einstein menulis surat kepada presiden Amerika Serikat Franklin. D. Roosevelt
yang memberikan rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang mengarah pada
pembuatan bom atom. Apakah yang mendorong Einstein berkewajiban memberikan
saran pada presiden AS tersebut untuk membuat bom atom? Apakah karena alasan
dia anti Hitler?
Enstein adalah penemu rumus E = MC2. Einstei dalam suratnya yang dikirimkan kepada
presiden Rooselvelt secara eksplisit juga mengemukakan kekawatiran mengenai
kemungkinan pembuatan bom atom oleh Nazi. Dan apabila sekiranya waktu
itu Jerman tidak memperlihatkan tanda-tanda untuk membuat bom atom, apakah
Einstein akan bersedia menulis surat tersebut?
Einstein
dalam persoalan semacam ini sebagai seorang ilmuwan bersifat netral. Enstein
berpihak pada kemanusiaan yang besar yang tidak mengenal batas geografis,
sistem politik atau sistem kemasyarakatan lainnya.
Seorang ilmuwan secara
moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas
bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri.
(Penanggung
jawab: Putu Rezha Setiyawan)
3.4
Revolusi Genetika
Tidak dapat dipungkiri bahwa
kemajuan dalam bidang kimi dan fisika membawa menfaat yang banyak bagi
kehidupan manusia. Namun disamping menfaat positif muncul pula penyalagunaan
kemajuan ilmu kimia dan fisika sehingga menimbulkan malapetaka. Perang
Dunia I yang menghadirkan bom biologis dan Perang Dunia II memunculkan bom atom
merupakan dampak negatif penyalagunaan ilmu dan teknologi.
Revolusi genetika merupakan babakan
baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah
menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri. Hal ini bukan berarti
bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah yang berkaitan dengan jasad
manusia, tentu sudah banyak sekali, namun penelaahan-penelaahan ini dimaksudkan
untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak membidik secara langsung
manusia sebagai obyek penelaahan. Artinya, jika kita mengadakan penelaahan
mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan
teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau dengan
perkataan lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan yang
memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan dengan jantung,
dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang
memberi kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung. Dengan
penelitian genetika maka masalahnya menjadi sangat lain, kita tidak lagi
menelaah organ-organ manusia dalam upaya untukk menciptakan teknologi yang
memberikan kemudahan bagi kita, melainkan manusia itu sendiri sekarang menjadi
objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan
kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
pembahasan di atas menyatakan sikap menolak terhadap dijadikannya manusia
sebagai obyek penelitian genetika. Secara moral kita lakukan evaluasi etis
terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal (ontologis) ilmu.
Menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan maka moral hanya mampu
memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita
mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran martabat manusia. Menghadapa
revolusi genetika yang baru di ambang pintu, kita belum terlambat menerapkan
pilihan ontologis.
(Penanggung jawab: Siti Fatichatus
Sarifah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar