KESENJANGAN SOSIAL TOKOH UTAMA DALAM NOVEL GADIS PANTAI
A.
Latar
Belakang
Dalam
istilah “cerita fiksi” terdapat kata “cerita” dan kata “fiksi” atau biasa
disebut dengan rekaan. Sebenarnya semua cerita mestinya adalah rekaan. Namun
pada saat ini, banyak juga cerita yang bukan fiksi, atau biasa disebut cerita
nyata. Hal ini meluas dari cerita fiksi pada dahulunya yang hanya menciptakan
cerita yang rekaan atau fiksi. Cerita yang seperti itu disebut cerita
non-fiksi. Banyak sekali cerita non-fiksi yang telah diciptakan oleh para
pengarang.
Cerita
fiksi tidak bisa terlepas dari unsur-unsur yang membentuknya. Mulai dari unsur
intrinsik, yaitu unsur yang berasal dari dalam tubuh cerita fiksi, dan unsur
ekstrinsik, yaitu unsur yang berasal dari luar isi dan bentuk cerita fiksi.
Unsur intrinsik merupakan kata yang sering kita dengar jika berurusan dengan
cerita fiksi. Yaitu bagian dari tema, tokoh dan penokohan, setting atau latar,
gaya bahasa, alur, serta amanat.
Salah
satu unsur yang memberikan ‘kehidupan’ pada cerita fiksi adalah tema. Dengan
tema, pengarang dapat menentukan batasan-batasan yang menjadi ide dasar untuk
membuat cerita. Konflik, tokoh dan penokohan, latar dapat dibatasi oleh tema.
Sehingga cerita yang ingin dibuat tidak akan melebar ataupun meluas.
“manusia dalam cerita fiksi diceritakan. Cara
bercerita pengarang yang satu berbeda dengan pengarang lainnya. Tidak semua
kisah dalam kehidupan manusia itu diceritakan. Jika demikian, maka cerita akan
menjadi sangat panjang. Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan tokoh diseleksi
manakah yang paling relevan dan mendukung keseluruhan cerita. Dengan imajinasi
dan kecakapan teknisnya, pengarang atau juru cerita mampu memilih unsur-unsur
kejadian dan kehidupan manusia yang relevan untuk diceritakan (mewakili apa
yang hendak diceritakan kepada penikmat).”
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan, jika memang penggunaan tema dapat menjadi
pembatas cerita. Sehingga cerita tidak akan meluas, topik-topik atau
gagasan-gagasan lebih fokus.
Berkaitan
dengan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan jika tema merupakan unsur
penting guna membatasi pengarang dalam membuat cerita. Dengan tema, gagasan
atau ide dasar pengarang lebih dapat difokuskan, sehingga tidak membuat cerita
berbelit-belit. Dari uraian ini, akan dibahas tentang tema dari cerita fiksi
Gadis Pantai karya Pramodya Ananta Toer, yaitu kesenjangan sosial tokoh utama.
B.
Pembahasan
Cerita
berkisah tentang seseorang atau tentang beberapa orang. Jika menghadapi sebuah
cerita, orang selalu bertanya “ini cerita (tentang) siapa?”, “Siapa pelaku
utamanya?” Pelaku ini yang disebut dengan tokoh cerita. Yang dimaksud dengan
tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam
peristiwa cerita.
Tokoh
pada umumnya berwujud manusia. Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer,
merupakan novel pertama dari trilogi yang ditulisnya, sebuah novel tanpa
terselesaikan, karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan
keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Novel
ini bercerita mengenai relasi antara mas nganten dengan pembesar yang “memeliharanya”.
Pembesar atau Ndoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki
korelasi dengan pemerintah Belanda. Novel ini sangat kritis sekali membicarakan
feodalisme Jawa pada masa itu. Pada dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat
jelata, rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi
yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat mencolok,
bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan priyayi (termasuk
kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak
memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya, termasuk mengawini anak-anak
gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu
saja.
Sejak semula novel ini menggambarkan
betapa hebatnya sistem yang mengedepankan kekuasaan seseorang pada masa itu.
Dan juga menggambarkan bagaimana masyarakat setempat berlomba untuk menikahkan
anak gadisnya dengan para pembesar Jawa (Bendoro) dengan maksud untuk menaikkan
derajat, menjadi orang yang berderajat dan mendapatkan prestisi di kalangannya.
Selain itu juga, novel ini juga menggambarkan usaha-usaha masyarakat setempat
(terutama kalangan Bendoro atau priyayi) untuk menjadi sama dengan Belanda.
Dari makanan yang para priyayi makan, dari perangkat makan (seperti
sendok-garpu, pisau makan, serta piring yang digunakan), kebiasaan dan
simbol-simbol budaya yang kebelanda-belandaan, hingga sampai kemampuan dalam
berbahasa Belanda.
Hal ini dapat kita lihat dari
kutipan sebagai berikut.
“Seperempat jam kemudian terdengar
suara Bendoro Guru berbicara dengan bahasa yang mereka tak kenal dan suara Agus
Rahmat menjawab dalam bahasa yang mereka pun tidak kenal.”
“Betapa hebatnya Bendoro mengajar
putera-puteranya,” kepala kampung berbisik. “Sekecil itu sudah bisa bicara
bahasa Belanda. Satu kata pun kita tak paham. Anakmu nanti,” kepala kampung
menghadapkan mukanya kepada Gadis Pantai, “juga bakal diajarkan seperti itu.”
Gadis Pantai Kecut, wajahnya meraih tangan emak dan menggenggamnya erat-erat.” (Pramoedya,
2007:20)
“… Roti hangat yang masih mengepul
yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah tersayat-sayat di atas meja.
Botol-botol selai, serbuk coklat, gula-kembang, perasan air jeruk, krupuk
udang, dan bubur havermouth, telah terderet diatas meja. Kopi mengepul-ngepul
dari cangkir porselen buatan Jepang. Sendok-garpu, pisau, semua dari perak
putih mengkilat berderet-deret memusingkan kepala Gadis Pantai. Sebuah tempat
buah dari perak begitu menyilaukan matanya. Otaknya terpilin-pilin dan ia
lapar. apa guna alat sebanyak itu dan serba mengkilat?”
“…. Gadis pantai menggigil. Ia tak
tahu yang bernama coklat, gula-kembang, dan mana pula selai.” (Pramoedya,
2007:42)
Dari kutipan diatas dapat dilihat
dengan jelas, betapa kemampuan berbahasa Belanda itu menjadi sesuatu yang
sangat mewah. Keinginan mereka selain mendapatkan prestisi masyarakat dan juga
menaikkan derajatnya, mengawinkan anaknya dengan Bendoro adalah salah satu
tujuan agar kelak anak yang dilahirkan oleh anaknya (cucu) dapat hidup dan dibesarkan
di lingkungan priyayi sehingga anak tersebut dapat menjadi seorang pembesar
pula.
Pola pikir dan bahkan bentuk fisik
pun tergambar dalam novel ini. Betapa sungguh berbedanya tubuh seorang priyayi
dengan rakyat jelata. Sehingga terlihat siapa yang seorang priyayi dan mana
pula ia seorang dari kalangan bawah. Orang yang langsat adalah orang yang
mulia, sedangan orang yang tubuhnya terbakar sinar matahari adalah hina. Seperti kutipan
berikut.
“Waktu Bendoro terlelap tidur,
dengan kepala pada lengannya, ia mencoba mengamati wajahnya. Begitu langsat,
pikirnya. Orang mulia, pikirnya, tak perlu terkelantang di terik matahari.
Betapa lunak kulitnya dan selalu tersapu selapis ringan lemak muda! Ia ingin
rasai dengan tangannya betapa lunak kulitnya, seperti ia mengemasi si adik
kecil dulu. Ia tak berani. Ia tergeletak diam-diam di situ tanpa berani
bergerak, sampai jago-jago di belakang kamarnya mulai berkokok. Jam tiga.
Dengan sigap Bendoro bangun. Dan dengan sendirinya ia pun ikut serta bangkit.” (Pramoedya,
2007:33)
C. Kesimpulan
Tema
merupakan dasar dari sebuah ide yang akan membatasi sebuah karangan sehingga
cerita tidak akan keluar dari jalur gagasan yang dimiliki oleh pengarang.
Penggunaan tema disesuaikan dengan gagasan yang ada di dalam pemikiran
pengarang yang dilihatnya dari sekitarnya sebagai masyarakat. Seperti tema dari
Gadis Pantai karya PAT, yang menyuguhkan cerita tentang kesenjangan sosial pada
era dahulu dimana kekuasaan merupakan hal yang paling disegani. Sehingga ada
jurang pemisah yang lebar dan dalam antara kaum bangsawan dengan kaum pribumi
yang melarat.
Daftar
Rujukan
Ananta T.
Pramudya. 1987. Gadis Pantai. Jakarta.
Hasta Mitra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar