Budaya Kerja Keras Anak
Belitong dalam
Novel Sang
Pemimpi Karya Andrea Hirata
A.
Latar
belakang
Budaya bekerja keras merupakan kegiatan yang selalu
ada dalam kehidupan setiap manusia. Kerja keras tidak selamanya dilakukan
berdasarkan gender. Kerja keras dilakukan oleh segenap manusia baik muda, tua,
anak-anak, orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Kerja keras menjadi
sebuah kebudayaan karena kegiatan itu dilakukan secara terus-menerus dan turun
temurun diwariskan oleh nenek moyang kita. Sudah sepantasnya kerja keras
menjadi bagian dari kisah dan perjalanan hidup setiap manusia.
Menurut
Panuti Sudjiman (1991;51) menyatakan jika tema adalah gagasan yang mendasari
karya sastra. Tema itu kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, di dalam
karya yang lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau di dalam penokohan. Tema
bahkan dapat menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa di dalam satu
alur. Ada kalanya gagasan itu begitu dominan sehingga menjadi kekuatan yang
mempersatukan berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya sastra, dan
menjadi motif tindakan tokoh.
Menurut pendapat di atas dapat dikatakan jika yang
mendasari tingkah laku, konflik dan lain sebagainya dalam sebuah karya sastra
adalah tema. Tema merupakan pesan dan gagasan dari seorang penulis karya sastra
untuk disampaikan kepada orang lain. Tema juga bisa mengangkat budaya dan
kebiasaan pada suatu daerah tertentu. Seperti dalam kutipan di atas, tema
terkadang bisa didukung oleh pelukisan latar.
Berdasarkan paparan dan penjelasan di atas, dalam makalah
ini akan dibahas tentang tema sekaligus penggambaran gagasan penulis lewat
karya sastranya yang menggambarkan kebudayaan dan kebiasaan tokoh utama. Karena
kita tidak akan bisa mengingat semua kejadian yang ada di dalam cerita fiksi.
Namun, kita masih bisa menangkap dan mengingat pesan dan kesan yang disampaikan
secara tersirat di dalam cerita fikis. Yaitu penggambaran budaya kerja keras
anak Belitong dalam Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata.
B.
Pembahasan
Dalam
novel karya Andrea
Hirata yang berjudul Sang Pemimpi
memiliki kisah tentang perjuangan anak-anak manusia di daerah pedesaan di
Sumatra tepatnya di Belitong. Kehidupan mereka yang serba pas-pasan bahkan
kekurangan tak membuat mereka putus asa. Khususnya dalam hal ini tentang
penndidikan. Bagaimana cara mereka dalam mewujudkan mimpi-mimpi tersebut patut
untuk diteladani. Dari mulai perjuangan pada saat sd di sekolah yang hanya
memiliki tiga ruang kelas itu, kini tiga murid Belitong dari SD Muhammadiyah melanjutkan
ke sma dengan perjuangan yang sangat berat guna melanjutkan cita-cita mereka
untuk melihat dunia.
Dimulai
dari perjalanan mereka—Arai, Ikal, dan Jimbron—dalam usahanya melanjutkan
sekolah menengah atas. Hal ini dikarenakan di kampung mereka tidak ada
sma, sehingga mereka merantau ke Magai.
“Aku, Arai,
dan Jimbron, memilih sebuah pekerjaan yang sangat bergengsi sebagai tukang
pikul ikan di dermaga. Profesi ini sangat elite ittu disebut kuli ngambat. Kami dengan sengaja memilih profesi itu karena
memungkinkan untuk dikerjakan sambil sekolah.”(narasi Sang Pemimpi hal 56)
“Sebelum
menjadi kuli ngambat, kami pernah
punya pekerjaan lain yang juga memungkinkan untuk tetap sekolah, yaitu sebagai
penyelam di padang golf. Tentu susah dipahami kalau kampung kami yang miskin
sempat punya beberapa padang golf. Tentu aneh di padang golf ada pekerjaan
menyelam.” (narasi Sang Pemimpi hal 57.)
Dari penggalan cerita tersebut sudah ada bagaimana budaya
kerja keras itu ada di dalam setiap diri manusia. Hal itu dilakukan jika dia
mempunyai keinginan yang kuat dan ingin mewujudkannya. Mereka rela bekerja
keras demi bisa
membayar uang sekolah mereka sendiri.
“Setiap
minggu pagi, Jimbron menghambur ke pabrik cincau. Dengan senang hati, dia
menjadi relawan membantu Laksmi. Tanpa diminta, dia mencuci kaleng-kaleng mentega
Palmboom, wadah cincau jika isinya telah kosong. Dia ikut pula menjemur
daun-daun cincau.” (narasi Sang Pemimpi hal 69)
Selain bekerja sebagai kuli ngambat, tiga anak kampung ini juga bekerja dengan berbagai macam
pekerjaan. Mereka bekerja keras dengan tujuan mereka bisa membiayai hidup
mereka sendiri.
“Sesampainya di
kamar kontrakan, aku kehabisan nafas. Aku melihat ke luar jendela. Nun di sana, di Semenanjung Ayah, aku merinding melihat
Arai, Jimbron, dan aku, berpakaian compang-camping, memikul karung kweni.” (monolog Sang Pemimpi hal 132)
“…hanyalah
muslihat untuk menipu tubuh yang lelah agar tegar bangun pukul dua
pagi setiap hari untuk memikul ikan, untuk menyambung hidup. Jika seluruh
cita-cita itu disaring, yang tersisa hanyalah tiga orang anak muda Melayu yang
menggadaikan seluruh kesenangan masa muda pada kehidupan dermaga yang keras, tanpa
pilihan dan belas kasihan.” (monolog Sang Pemimpi hal. 134)
“hari-hari
berikutnya, setiap kali Jimbron merima upah dari nahkoda kapal ikan, dibaginya
dua dengan rata upah itu dan dimasukkannya ke kedua celengan kudanya. Kami hanya
menggeleng-gelengkan kepala.” (narasi Sang Pemimpi hal 136)
Di atas merupakan pennggalan kisah-kisah dari monolog
dan narasi SP yang menggambarkan perjuangan dan kerja keras Arai, Ikal, dan
Jimbron untuk kepentingan urusan pedidikan mereka. mereka rela menggadaikan masa
muda mereka untuk menabung masa depan mereka. Yaitu melanjutkan kuliah di
Sorbone, Prancis.
Dalam novel Sang Pemimpi,
diceritakan jika Jimbron sangat suka dengan kuda. Pada waktu itu, di kampungnya
bersekolah dia mendengar ada juragan kaya yang akan mendatangkan kuda. Dia
memutuskan untuk menantikan kedatangannya di dermaga sampai dia rela tidak
masuk sekolah. Hal ini membuat Arai merasa kasihan dan iba. Akhrinya dia memutuskan
untuk sekedar membahagiakan Jimbron. Arai bekerja keras untuk misinya kali ini. Karena hanya kerja
keraslah yang mampu untuk mewujudkannya setalah kemauan.
“Ada
kerja borongan sebentar di Gedong, tak kan lama, bisa kerja setiap pulang
sekolah. Orang staf di sana mau membayar harian. Bagus pula bayarannya.”
(dialog Sang Pemimpi hal 167)
Pada saat Arai dan Ikal merantau ke
Jawa untuk melanjutkan kuliahnya, kehidupan mereka yang kekurangan membuat
mereka tidak punya cukup bekal untuk hidup di Jawa. Akhirnya mereka memutuskan
untuk mencari pekerjaan asalkan mereka bisa bertahan hidup di Jawa kemudian
baru mereka memikirkan kuliah.
“Hari-hari berikutnya, kami mulai panik. Berbekal selembar ijasah sma, kami
tak kunjung mendapat pekerjaan. Bahkan, hanya sekedar ingin menjadi penjaga
toko susahnya minta ampun.” (narasi Sang Pemimpi hal. 234)
“Kami
berdiri dari pagi sampai malam di depan mesin fotokopi yang panas. Sinarnya
yang menyilaukan menusuk mata, membiaskan pengetahuan botani, fisiologi
tumbuhan, genetika, statistika, dan matematika ke muka kami...” (monolog Sang
Pemimpi hal. 226)
Kerja keras bukan hanya untuk mewujudkan cita-cita dalam
hal pendidikan saja. Namun, dalam novel sang pemimpi, diceritakan pula
kesungguhan dan kerja keras untuk mewujudkan cinta. Arai yang sejak masuk sma
sudah menaksir seorang anak perempuan yang bernama Zakia Nurmala. Namun, cinta
Arai tak pernah diterima oleh Zakia Nurmala. Hal intu tidak membuat Arai patah
semangat, bahkan dia tetap berjuang demi cintanya.
“Nurmala adalah
tembok yang kukuh,” kilahnya kepadaku diplomatis.
“Usahaku ibarat
melempar lumpur ke tembok,” sambungnya optimis.
“Kau sangka
tembok itu akan roboh dengan lemparan lumpur?” tanyanya retoris.
“Tak akan!
Lumpur itu akan membekas di sana, apa pun kulakukan, walaupun ditolaknya
mentah-mentah akan membekas di hati,” kesimpulan filosofis (dialog Sang pemimpi
hal. 163)
“Sungguh, aku
penasarang ingin tahu. Kusampaikan kepada bang Zaitun maksud kunjungan kami dan
terang-terangan menanyakan kiatnya berjaya dalam asmara. Bang Zaitun menatap
Arai dengan haru.” (monolog Sang Pemimpi hal. 177)
Kedua monolog dan dialog di atas merupakan kisah cinta
Arai serta usahanya dalam urusan cinta. Dia tidak pernah berhenti untuk
mengejar cintanya hingga dia berguru ke Bang Zaitun yang merupakan tokoh
inspirasinya dalam urusan penaklukan cinta.
Selain Arai, seorang Jimbron yang sangat suka dengan kuda
juga melakukan hal yang berhubungan dengan usaha dalam soal cinta. Yaitu, dia
mencoba menghibur Laksmi seorang penjual cincau di pasar yang ditaksirnya
dengan cara mencoba membuat Laksmi tersenyum, meskipun usahanya sampai
Pangeran—nama kuda—yang dipinjam Arai dibawa Jimbron menuju tempat kerja
Laksmi.
“Pangeran
mendaratkan lagi kakinya, berdebam menggetarkan tiang-tiang pabrik cincau
disambut suitan dan tepuk tangan gagap gempita para penonton. Laksmi terkesima,
lalu samar-samar dia tersenyum. Dia memandangi Jimbron, dan makin lama,
senyumnya makin lebar. Orang-orang terhenyak menunggu senyum Laksmi, setelah segala
daya upaya dikerahkan agar Laksmi tersenyum dan selalu gagal, pagi itu, untuk
pertama kalinya, mereka melihat Laksmi terseyum. Ya, Laksmi tersenyum! Dan
senyumnya itu manis sekali.” (Narasi Sang Pemimpi hal. 191)
C.
Penutup
Kesimpulan
Cerita yang terdiri dari 28 mozaik tentang kisah
perjuangan tiga anak Belitong yang bekerja keras demi mewujudkan cita-cita dan
cinta mereka pada dunia pendidikan, dunia Zakia Nurmala, Laksmi, serta Pangeran
putih yang gagah. Dimana perjuangan yang tidak ada putusnya akan berdampak
positif terhadap diri sendiri dan orang lain di sekitar kita. Kerja keras yang
menjadi kebiasaan serta budaya ini memang patut untuk dilestarikan dan
diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu. Karena di mana ada kemauan
dan cita-cita maka satu hal yang dapat mewujudkannya adalah dengan cara bekerja
keras. Seperti pada akhir cerita Sang Pemimpi, Arai dan Ikal yang notabene anak
dari keluarga yang tidak mampu, berhasil lolos ujian masuk UI, lulus dengan
nilai camlaude dan melanjutkan kuliah dengan beasiswa di Universitas Sorbone
Prancis.
Dari novel ini, kita bisa mendapatkan hikmah dan amanat
yang sangat penting untuk kehidupan kita. Karena poin penting yang ditonjolkan
oleh Andrea Hirata ialah tentang kerja keras dan perjuangan tanpa kenal menyerah
meskipun banyak hal yang terkadang kita menganggapnya sulit. Namun, bagi mereka
anak-anak Belitong, hal itu merupakan motivasi. Itulah poin penting dan amanat
yang patut untuk diteladani.
Daftar Rujukan
Sudjiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta
Hirata, A. 2009. Sang
Pemimpi. Yogyakarta. PT Bentang Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar