A. LATAR
BELAKANG
Sudah
kita ketahui dalam pembicaraan tentang bentuk-bentuk kekaburan dalam makna,
kata itu mempunyai sejumlah segi yang berbeda-beda sesuai dengan konteks tempat
kata itu digunakan. Sebagian dari segi ini mungkin bersifat sementara, tetapi seabgian
lagi bisa berkembang menjadi perbedaan makan yang permanen, dan karena senjang
antara segi-segi yang berbeda ini melebar, maka kadang-kadang orang dapat
memandangnya sebagai dua makna yang dibedakan secara sistematis, tetapi di
dalam kenyataan sebenarnya tingkat-tingkat itu saling berkaitan.
Dalam
hal ini akan dibahasa tentang polisemi yang dikaji secara semantik berdasarkan
makna yang dihasilkan oleh kata yang (1) pergeseran penggunaan; (2)
spesialisasi dalam lingkungan sosial; (3) bahasa figuratif; (4) penafsiran
kembali pasangan homonim; dan (5) pengaruh asing.
B. PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, polisemi diartikan sebagai bentuk bahasa (kata, frasa, dsb) yg mempunyai makna lebih
dr satu. Sumarsono (2007: 41) menyatakan jika polisemi adalah sebuah bentuk
kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Perbedaan antara makna yang satu
dengan yang lain daoat ditelusuri atau dirunut sehingga sampai pada suatu
kesimpulan bahwa makan-makna itu berasal dari sumber yang sama. Sama dengan
pendapat sebelumnya Allan dalam Sumarsono (2007:41) menyatakan ”polisemy is the property od an emic
expression with more that one meaning.” Yang artinya polisemi sebagai unsur
emik yang memiliki dua makna atau lebih. Ullmann menyatakan dalam buku Sumarsono
(2007:41) bahwa polisemi merupakan elemen
bahasa yang penting. Adanya polisemi membuat kosakata dalam suatu bahasa
menjadi terbatas karena sejumlah konsep tidak harus diungkapkan dengan
butir-butir leksikal yang berbeda, tetapi dengan butir leksikal yang sama atas
dasar berbagai persamaan.
Dari berbagai pendapat di atas dapat kita simpulkan, polisemi
merupakan bentuk bahasa yang memiliki makna lebih dari satu, makna tersebut
berasal dari sumber yang sama. Sebagai contoh, dengan konsep kesamaan makna
‘kecil’, kata anak yang memiliki makna primer ‘generasi keturunan pertama’
memiliki polisemi sebagai berkut.
Bagan
Ullmann dalam Sumarsono (2007:44)
2.
Faktor-Faktor
Munculnya Polisemi
2.1 Pergeseran Pemakaian
Polisemi
sebagai ciri fundamental bahasa manusia muncul karena berbagai faktor. Faktor
yang pertama yaitu pergeseran pemakaian. Luasnya pemakaian bahasa menyebabkan
yang digunakan oleh manusia menyebabkan pergeseran makna. Pergeseran itu jika
belum begitu jauh memungkinkan untuk diruntut makna primer dengan makna yang
baru. Namun jika sebaliknya jarak pergeseran yang jauh akan menyulitkan
penyebab pergeserannya. Menurut Ullman dalam Sumarsono (2007:45) kemungkinan
jika itu terjadi—pergeseran yang sulit diruntut penyebab pergeserannya—akan
menjadi pasangan yang berhomonim.
Pergeseran
penggunaan (aplikasi) terutama tampak mencolok dalam penggunaan adjektiva
karena adjektiva ini cenderung berubah maknanya sesuai dengan nomina yang
diterangkan. Dalam bahasa Indonesia dapat ditemukan polisemi pada semua jenis
kata. Contohnya yang diambil dari KBBI:
lanjut (adjektiva):
1) panjang
(tentang cerita, percakapan);
2) lama,
tinggi (tentang umur);
3) terus,
tidak berhenti, masih bersambung;
4) telah
jauh dari permulaan;
barang (nomina):
1) benda
umum (segala sesuatu yang berwujud);
2) segala
alat perkakas rumah, perhiasan, dsb;
3) bagasi,
muatan;
4) sesuatu,
segala sesuatu;
5) sesuatu
yang biasa saja;
membawa (verba):
1) memegang
(mengandung, mengangkat, dsb) sambil berjalan;
2) mengangkat,
memuat, memindahkan, mengirimkan;
3) mengajak
pergi, memimpin;
4) mendatangkan,
mengakibatkan.
Kata padat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna sangat penuh hingga tidak berongga; padu; mampat; pejal.
Namun karena pergeseran pemakaian memungkinkan terjadinya makna yang
berbeda-beda, yakni:
1)
sudah tetap hatinya seperti
dalam sudah padat hatinya.
2)
Telah mendapat kata sepakat
seperti dalam rundingan telah padat.
3)
tidak ada waktu luang;
berhimpitan sehingga tidak ada waktu sela seperti dalam acaranya padat sekali
seminggu ini.
4)
mempunyai isi dan bentuk
yang tetap (tidak cair dan tidak berupa gas) seperti dalam batu, besi dan
sebagainya merupakan benda padat.
Perbedaan
makna padat dalam contoh-contoh di
atas masih relatif dekat dengan makna primernya, tetapi kata sunting makna primernya ialah menyiapkan naskah siap cetak atau siap terbit dengan
memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan,
diksi, dan struktur kalimat). Sedangkan makna sekundernya ialah ‘meminang untuk
tujuan memperistri’.
Pergeseran makna dalam penggunaan merupakan pelaku utama di
belakang banyaknya jumlah makna. Dengan penggunaan kias yang menjadi faktor
utama penyumbang yang penting.
2.2
spesialisasi dalam Lingkungan Sosial
wilayah kehidupan atau wilayah sosial seringkali memiliki
kata-kata yang maknanya khas yang berbeda dengan makna sebenarnya. Penggunaan
kata bisa berbeda jika kita berada pada suatu wilayah atau lingkungan kita,
misalnya saja jika kita berada pada lingkungan polisi. Kata operasi bukanlah hal yang berhubungan
dengan rumah sakit, ruangan untuk mengobati luka yang sulit ditangani,
melainkan makna kata operasi ini
adalah pekerjaan yang berhubungan dengan polisi. Bisa saja melakukan razia,
operasi zebra, dan lain sebagainya tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Hal ini dikarenakan kebiasaan dan karena pengaruh lingkungan.
Makna bisa berubah maknanya dari makna yang biasa digunakan sehari-hari menjadi
makna yang berupa sandi-sandi yang hanya orang di wilayah dan lingkungan
tertentu yang akan paham tanpa penjelasan lebih lanjut dan rinci.
Seperti yang ada pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kali bisa berubah makna dan artinya.
Makna yang sebernarnya adalah ‘kata yang menyatakan kekerapan tindakan’, bisa
berubah seperti ini:
ka·li
[1] n 1 kata untuk menyatakan
kekerapan tindakan: dalam satu minggu ini, dia sudah empat kali datang ke
rumahku;
2
kata untuk menyatakan kelipatan atau perbandingan (ukuran, harga, dsb): harga
barang kebutuhan pokok pada tahun ini dua kali lebih mahal daripada harga pada
tahun yang lalu;
3
kata untuk menyatakan salah satu waktu terjadinya peristiwa yang merupakan
bagian dari rangkaian peristiwa yang pernah dan masih akan terus terjadi: untuk
kali ini ia kena batunya;
4
kata untuk menyatakan perbanyakan atau pergandaan: dua kali dua sama dengan empat;
2.3
Bahasa
Figuratif (kiasan)
Sejumlah
kata tidak hanya memiliki makna literal, tetapi memungkinkan pula memiliki
makna kias atau figuratif yang pada akhirnya membentuk metafora-metafora.
Metafora dan kias-kias lain sebagai faktor penting dalam motivasi dan dalam
overtone emotif. Menurut Verhaar dalam Sumarsono (2007:48) menyatakan bahwa
metafora terbentuk karena adanya penyimpangan penerapan makna kepada sesuatu
referen yang lain. Penyimpangan makna ini tidak bersifar semena atau arbitrer,
tetapi berdasarkan atas kesamaan tertentu. Seperti kesamaan sifat, bentuk,
fungsi, tempat atau kombinasi di antaranya.
Sebuah
kata dapat diberi dua atau lebih pengertian yang bersifat kias tanpa
menghilangkan makna orisinalnya. Makna yang baru dan lama akan berdampingan
selama tidak ada kekacauan makna. Dalam hal ini metafora-metafora ini memancar
dari makna sentral kata itu. Misalnya kata mata
dipakai untuk lingkup yang sangat luas di samping acuannya sebagai bagian
dari organ tubuh.
ma·ta
[1] n 1 indra untuk melihat; indra penglihat;
2 sesuatu yang
menyerupai mata (seperti lubang kecil, jala): nenek mencoba memasukkan
benang ke mata jarum;
3 bagian yang tajam
pada alat pemotong (pada pisau, kapak, dsb): mata pisau itu perlu dikikir supaya tajam;
4 sela antara dua
baris (pada mistar, derajat, dsb);
5 tempat tumbuh tunas
(pada dahan, ubi, dsb);
6 ki sesuatu
yang menjadi pusat; yang di tengah-tengah benar:
7 yang terpenting
(sumbu, pokok, dsb): mata pencaharian
penduduk desa itu bertani;
2.4 Penafsiran Kembali Pasangan
Berhomonim
Dalam
pembicaraan tentang etimologi populer kita sudah menyinggung bagawa polisemi
juga bisa muncul melalui bentuk khusus etimologi populer itu. Jika terdapat dua
kata yang memiliki bunyi yang identik dan perbedaan maknanya tidak begitu
besar, kita cenderung untuk memandangnya sebagai dua kata dengan dua
pengertian. Secara historis ini masalah
homonimi menurut I Dewa Putu. Dia menyatakan hal itu karena dua kata itu
berasal dari dua kata yang berbeda.
Jenis polisemi ini memang sangat jarang ada dan
sebagian besar contoh yang ada agak meragukan. Hanya dengan perhitungan
statistik sajalah kita dapat menunjukkan apakah sebagian besar penutur
benar-benar merasakan semacam hubungan antara dua makna itu.
2.5 Pengaruh Bahasa Asing
Masuknya
konsep-konsep asing sering kali mengakibatkan perubahan makna kata-kata bahasa
yang dipengaruhinya. Kadang-kadang makna pungut atau makna pinjaman itu
mendesak kata yang lama. Tetapi dalam banyak hal, makna lama tetap hidup
berdampingan dengan makna baru, dan muncullah polisemi.
Contohnya
dalam bahasa Indonesia, kata ranjau yang
bermakna primer ‘sebilah bambu yang ditajamkan untuk jebakan’ karena masuknya
pengaruh asing, yakni bom, dan konsep ini tidak ada di dalam bahasa Indonesia,
kata ranjau memiliki makna baru.
C. KESIMPULAN
Polisemi
dan homonimi masih membuat bingung para ahli bahasa. Konflik antara makna-makna
yang besesuaian dari sebuah kata itu berlangsung terus sepanjang waktu dalam
bahasa, meskipun kita tidak mungkin berbicara sebelumnya tentang bagaimana
konflik itu akan dipecahkan. Seperti halnya kalimat yang terdapat pada surat
kabar surya edisi 7 November, ‘United harus mewaspadai mesin gol SC Braga, Alan
Silva, jika tak ingin menelan malu. Kata
‘menelan’ dan ‘malu’ merupakan kata yang memiliki makna yang jelas berbeda. Kata ‘menelan’ berarti ‘memasukkan (makanan) ke dalam pembuluh kerongkongan’. Kata
menelan merupakan kata kerja atau verba. Sedangkan kata ‘malu’ memiliki makna ‘merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah,
dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan
kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb)’. Kata ‘malu’ tidak ada
hubungannya dengan sesuatu yang dapat dimakan. Sehingga kata ‘menelan’
merupakan polisemi karena memiliki makna baru yang menyimpang dari makna
primernya. Yakni, kata ‘menelan’ pada kalimat di atas memiliki makna
‘merasakan’.
Daftar Rujukan
Wijana, I Dewa P, dan Rohmadi, M. 2008. Semantik Teori dan Analisis. Yogyakarta. Juma Pustaka.
Sumarsono. 2007. Pengantar
Semantik. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Harian Surya. 2012. Ancaman Alan. Surabaya. Surabaya Tribun News.